![]() |
Penerapan teknologi untuk pertanian berkelanjutan di Samata Green House |
Kalimat itu meluncur dari bibir Andi Fathur Radhy atau yang akrab disapa Fath, dengan nada tenang namun tegas saat kami berbincang lewat telepon. Meski berjarak ratusan kilometer dan perbedaan waktu sekitar satu jam, saya masih bisa menangkap suaranya yang bersemangat ketika mulai bercerita tentang perjalanan Samata Green House (SGH).
"Orang-orang sering bilang, Samata itu panas, banyak debu, kotor, nggak cocok buat nanam sayur," ujar Fath ketika mengawali pembahasan. "Tapi, dari situlah kami terpantik. Kenapa nggak kita coba ubah stigma ini? Kenapa nggak kita buktikan bahwa di dataran rendah yang panas ini, sayuran dataran tinggi tetap bisa tumbuh subur?"
Pertanyaan yang bermula dari keresahan itu menjadi awal perjalanan panjang, menyatukan inovasi dan kolaborasi dalam satu misi keberlanjutan. Tidak hanya mengubah wajah Samata menjadi lebih hijau, tapi juga mengubah cara masyarakat memandang pertanian dan membuka ruang pemberdayaan.
Membaca Keresahan, Menemukan Jalan Baru
Fath bukan lulusan jurusan pertanian. Latar belakangnya sebagai jurnalis justru menajamkan kepekaannya membaca kondisi sekitar. Lokasi geografis Samata yang membuat suhu di siang hari bisa mencapai 43℃, tidak ia lihat sebagai keterbatasan, melainkan sebuah peluang yang menuntun pada solusi.Menariknya, Fath tidak langsung berbicara tentang teknologi atau angka produksi. Ia memulai dari hal yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat setempat, yaitu budaya makan.
"Orang Sulawesi Selatan itu identik dengan makanan berat, olahan daging, banyak santan. Seperti coto, konro, pallubasa," ujarnya. "Tapi sejak pandemi, orang mulai sadar pentingnya makanan sehat. Permintaan sayuran mulai naik."
Perubahan pola konsumsi tersebut justru menimbulkan tantangan baru. Samata, sebagai daerah dataran rendah, menggantungkan suplai sayuran segar dari wilayah dataran tinggi seperti Malino atau Enrekang. Perlu waktu empat hingga enam jam perjalanan dalam pendistribusian. Akibatnya, harga bisa lebih mahal, kesegaran berkurang, dan stok terbatas.
"Waktu itu saya mikir, demand tinggi, tapi suplai sedikit. Kenapa kita nggak coba tanam sendiri?" kenangnya dengan nada yang terasa masih penuh dengan keingintahuan yang sama.
Pada 2019, berbekal modal seadanya dan semangat kolaborasi, Fath bersama adik dan lima rekannya dari kampus mulai bereksperimen dengan hidroponik, sebuah teknik bercocok tanam tanpa tanah yang efisien lahan. Mereka memulai dari 48 lubang untuk menanam selada dan pakcoy.
Namun, hasilnya jauh dari harapan. Tanaman layu, tidak tumbuh subur. Saat itulah Fath dan tim belajar kenyataan pertama bahwa memaksakan tanaman dataran tinggi tumbuh di cuaca panas tanpa perlakuan khusus itu mustahil.
Tapi bagi mereka, kegagalan tersebut justru menjadi titik balik. Alih-alih menyerah, mereka mulai belajar dari berbagai sistem pertanian modern di seluruh dunia.
Mulai dari sistem pengembunan otomatis di Florida yang digunakan saat musim salju, hingga beragam metode Climate-Smart Agriculture (CSA) yang sudah banyak diterapkan di negara-negara Eropa. Dari sanalah ide-ide baru bermunculan.
"Dari situ saya paham, tanaman dataran tinggi butuh suhu sejuk. Kalau di Samata yang panas begini, ya kita harus bikin kondisi buatan yang mirip dataran tinggi," jelasnya. "Makanya kami bikin semacam sistem penurun suhu khusus untuk tanaman."
Sistem itu cukup efektif membuat tanaman mulai tumbuh subur dengan daun yang lebih segar. Namun muncul masalah baru, tagihan listrik semakin membengkak. Butuh energi sekitar 4.000 watt untuk 15 menit operasional. Biaya yang tidak main-main, dan masih bergantung pada energi fosil yang tidak ramah lingkungan.
Dari Tantangan, Tumbuh Inovasi Berkelanjutan
Panas Samata yang menyengat tak selamanya menjadi masalah, justru awal menemukan berkah. Daerah yang dikenal terik ini menyimpan potensi energi matahari melimpah. Dari situlah muncul gagasan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kebun hidroponik SGH.Fath tertawa kecil saat mengenang perjuangan awal mereka. "Modal awalnya memang besar untuk instalasi," akunya. "Tapi setelah itu, energinya gratis dan ramah lingkungan. Kegunaannya bisa seumur hidup."
Mereka kemudian mengembangkan Smart Eco Power System sebagai sistem instalasi listrik terintegrasi yang menggabungkan energi surya dengan manajemen yang cerdas agar lebih efisien dan keberlanjutan. Total kapasitas yang dihasilkan mencapai 8.500 watt. Lebih dari cukup sebagai sumber kehidupan bagi seluruh aktivitas di SGH.
Kelebihan dayanya pun tidak dibiarkan sia-sia. Saat listrik padam, masjid terdekat memanfaatkan daya dari panel surya SGH agar aktivitas ibadah tetap berjalan lancar. Solusi ini memantik Fath dan tim untuk memikirkan inovasi lainnya.
![]() |
Pemanfaatan teknologi untuk memantau tanaman di Samata Green House |
Setelah energi, mereka beralih ke data. Pada 2023, SGH mulai memanfaatkan Internet of Things (IoT) untuk mengumpulkan data di sistem hidroponik. Mulai dari suhu, kelembaban, pH air, hingga nutrisi tanaman, semuanya terekam secara digital dan dapat dimonitor secara real-time.
Namun, semua data itu masih harus dianalisis manual untuk dikonversikan jadi tindakan. Fath tahu dan sadar betul, sistem ini belum sepenuhnya efektif.
Tepat dengan datangnya dua orang mahasiswa magang dari Jepang, mereka berkolaborasi merumuskan Skypian System. Sebuah sistem berbasis Artificial Intelligence of Things (AIoT) yang mampu mengumpulkan, menganalisis, dan memberikan rekomendasi otomatis bagi tanaman.
Dengan sistem pemantauan jarak jauh, mereka bisa mengetahui waktu penyiraman terbaik, kadar nutrisi ideal, hingga suhu optimal. Bertani hidroponik pun menjadi lebih efisien dan mudah.
Bagi Fath, kemudahan dan efisiensi yang lahir dari inovasi dalam dunia pertanian bisa menjadi angin segar. Teknologi bukan hanya sekadar alat untuk meningkatkan produksi, tapi juga jembatan untuk mengubah stigma, terutama di kalangan generasi muda.
"Banyak anak muda yang tidak mau jadi petani karena profesinya dianggap kuno, kotor, tidak keren," katanya. "Tapi kalau bertani pakai teknologi canggih, pakai AI yang juga sedang dikembangkan secara besar-besaran, proses bertani jadi lebih modern. Petani zaman sekarang itu sebenarnya pengusaha tani. Mereka bisa menjadi inovator sekaligus problem solver."Pandangan Fath sejalan dengan laporan terbaru Kementrian Pertanian, yang menunjukkan bahwa pertanian berbasis teknologi atau smart farming mampu meningkatkan produktivitas hingga 50% sekaligus menghemat sumber daya.
Di Indonesia, adopsi teknologi pertanian memang masih rendah. Padahal, dengan populasi yang terus bertambah dan lahan pertanian yang semakin terbatas, inovasi adalah kunci untuk keberlanjutan pangan nasional.
SGH menjadi bukti bahwa inovasi tidak selalu rumit dan harus langsung sempurna. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mencoba, kesediaan untuk belajar, dan membuka ruang-ruang kolaborasi.
Teknologi yang Menyentuh Banyak Kehidupan
Di tengah ceritanya tentang inovasi, Fath menyinggung konsep bertani tanpa batas. Baginya, dimensi kemanusiaan dan inklusi jauh lebih penting daripada sekadar efisiensi atau produksi.Dalam pertanian konvensional, penguasaan medan adalah dasar bercocok tanam. Lahan berlumpur, batu terserak dimana-mana, kondisi tanah kebun naik turun, menjadi tantangan yang mungkin biasa bagi sebagian orang.
Tetapi bagi mereka dengan kesulitan mobilitas atau keterbatasan fisik lainnya, hal tersebut adalah awal pengucilan dari sistem ekonomi. Kesempatan untuk berdaya bagi penyandang disabilitas pun menjadi semakin terbatas.
"Para penyandang disabilitas bukan objek bantuan, mereka adalah subjek perubahan," tegas Fath. "Platform kami dirancang agar sistem pertanian modern tidak menolak siapapun. Sistem ini justru membuka peluang bagi mereka yang sebelumnya tidak punya akses."Pemanfaatan teknologi dalam kebun hidroponik di Samata Green House membuka ruang baru bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Tak ada lumpur, tak ada beban berat di bawah terik matahari. Semua sistem bisa disesuaikan. Panel kontrol dapat dioperasikan dari posisi duduk, dan smartphone menjadi jendela yang memantau pertumbuhan tanaman dengan lebih presisi.
![]() |
Pendampingan tim SGH untuk program Pemberdayaan Lintas Abilitas |
Melalui Program Pemberdayaan Lintas Abilitas (PELITA) dan berkolaborasi dengan mitra strategis seperti kitabisa.com dan komunitas lokal, SGH memberikan pendampingan intensif bagi teman-teman difabel untuk belajar bertani secara hidroponik serta memberikan subsidi operasional jangka pendek.
Tidak cukup sampai disitu, dalam program ini peserta juga diajarkan untuk belajar berjualan, memasarkan hasil panen, dan mencapai kemandirian finansial. Menurut Fath, pendekatan program ini tidak hanya berdampak secara ekonomi, tapi juga dignitas dan kepercayaan diri mereka.
Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Kemenko PMK) memperkirakan ada sekitar 23,3 juta jiwa penyandang disabilitas di Indonesia. Namun, partisipasi mereka dalam ekonomi formal, masih sangat terbatas.
SGH mencoba menjawab tantangan tersebut. Memperlihatkan bahwa ketika sistem dirancang inklusif, inovasi tidak berhenti hanya di teknologi. Lebih dari itu, solusi tersebut mampu menjangkau ranah sosial yang mengubah struktur kesempatan.
Menyuburkan Setiap Gerak dengan Kolaborasi
Dari seluruh percakapan kami, satu hal yang paling sering ditekankan Fath adalah kolaborasi. "SGH adalah rumah yang semua orang bisa masuk dan bisa tinggal," katanya. "Kami bisa bertahan sampai saat ini karena selalu membuka pintu kolaborasi."Kalimat itu bukan sekadar retorika. Sejak awal, SGH memang lahir dari semangat kolaborasi. Ada masa-masa ketika kondisi keuangan belum memungkinkan menggaji enam orang tim inti, namun mereka memilih tetap bertahan.
Mereka teguh dalam memegang komitmen karena percaya pada visi yang sama. Mengubah stigma negatif tentang pertanian dan memberdayakan kelompok yang sering kali terpinggirkan oleh sistem, butuh kerjasama yang solid.
Saya sempat mencari tahu lebih lanjut melalui instagram @sgh_hydroponic, seperti apa tempat yang disebut Fath sebagai rumah untuk semua orang itu. Di Samata Green House, udara panas khas Gowa berbaur dengan semerbak hijau dari deretan sayuran segar yang tumbuh rapi di pipa-pipa hidroponik putih.
Di antara barisan selada dan pakcoy, tampak anak-anak sekolah berdiri dengan mata berbinar, mendengarkan penjelasan tentang cara menanam tanpa tanah. Atau, mereka justru sibuk mengagumi teknologi dan otomasi yang digunakan untuk menjaga kelembaban udara.
Di waktu yang lain, ibu-ibu dari kelompok tani datang berkeliling. Ada dari mereka menunduk pelan, menyentuh daun muda dengan ujung jarinya. Seolah memastikan bahwa tanpa tanah, sayuran itu tetap bisa tumbuh.
Tempat itu tak pernah benar-benar sepi. Selalu ada yang datang, kadang rombongan siswa, relawan komunitas, hingga pejabat daerah yang ingin melihat langsung penerapan teknologi ramah lingkungan untuk pangan berkelanjutan. Kadang juga petani konvensional yang penasaran bagaimana bisa sayuran tumbuh subur tanpa tanah gembur dan cangkul.
Suara pompa air berpadu dengan desir kipas pendingin menciptakan irama yang khas, seolah menjadi musik latar dari semangat belajar yang tak pernah padam. Cahaya matahari yang menembus atap transparan greenhouse membuat daun-daun tampak berkilau, memantulkan warna hijau muda yang menyejukkan mata.
SGH bukan hanya tempat menanam sayur. Keberadaannya menjadi ruang belajar lintas usia dan latar belakang. Di sana, batas antara pelajar dan petani, antara akademisi dan praktisi, seolah melebur dalam satu tujuan yaitu menumbuhkan kehidupan.
Kolaborasi datang silih berganti. Awalnya, memang lebih banyak menjalin kerja sama dengan berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk magang dan belajar langsung tentang pertanian modern.
![]() |
Program edufarming bagi teman difabel dan ibu-ibu kelompok tani |
Kolaborasi datang silih berganti. Awalnya, memang lebih banyak menjalin kerja sama dengan berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk magang dan belajar langsung tentang pertanian modern.
Tapi sekarang, SGH juga menjadi mitra strategis berbagai pihak. Salah satunya bersama Bank Indonesia, dalam program yang mengusung konsep smart farming, berupaya meningkatkan kapasitas para petani.
"Cara kami memastikan kolaborasi berjalan baik adalah dengan selalu kembali ke tujuan awal, yaitu edufarming,” jelas Fath. “Meski aspek finansial penting, orientasi SGH bukan bisnis atau investasi semata. Kami mengedepankan kolaborasi yang saling menguntungkan melalui contract farming yang adil."
Di balik semangat kolaborasi ini, Fath dan timnya memegang teguh falsafah Bugis ‘Siri Na Pacce’. Siri berarti malu, harga diri, dan kehormatan. Pacce berarti solidaritas, empati, dan mampu merasakan kepedihan orang lain. Falsafah ini mengajarkan untuk menjaga kehormatan diri sambil tetap peduli pada sesama, tidak membiarkan siapapun menderita sendirian.Mereka pun mulai merambah beberapa daerah lain seperti Gowa dan Bulukumba untuk mengembangkan sistem pertanian modern ini. Sebuah upaya agar lebih banyak pihak yang terlibat dan merasakan dampaknya.
Menurut Fath, lahan operasionalnya kini mencapai 16 x 45 meter di Samata dan 10 x 30 meter di Bulukumba, dengan varietas tanaman yang beragam. Mulai dari pagoda, batavia lettuce, pakcoy, seledri apium, berbagai jenis cabai, tomat cherry, murbei, hingga bayam Brazil.
Di seluruh klaster pertanian binaan Samata Green House, terdapat sekitar 25.000 lubang tanam hidroponik yang dikelola bersama oleh beberapa kelompok tani. Dari sistem terintegrasi ini, mereka mampu menghasilkan rata-rata 450 kilogram sayuran segar setiap minggu. Jika ada permintaan sayur yang menipis di satu klaster, stoknya akan segera dipasok dari klaster lain, memastikan pasokan tetap stabil sekaligus memperkuat semangat gotong royong.
Lebih dari itu, kehadiran SGH perlahan mengubah cara pandang masyarakat lokal. Di sekitar Samata, semakin banyak warga yang mulai menghijaukan lingkungan dengan menanam bunga di halaman rumah. Perlahan tapi pasti, warna dan energi Samata pun ikut berubah, dari yang semula dikenal terik nan berdebu, kini menjadi ruang hidup yang menumbuhkan harapan.
Semangat Muda di Ladang Harapan
Tentu saja perjalanan SGH tidak selalu mulus. Tantangan terbesar justru terletak pada pola pikir tentang bertani itu sendiri. Terutama di kalangan generasi muda yang memandang petani dengan sebelah mata dan bukan profesi yang menjanjikan."Konsep bertani modern itu masih terlalu abstrak bagi banyak orang,” ujarnya. “Mereka masih membayangkan petani itu identik dengan cangkul, tanah, dan panas matahari. Padahal, sekarang ini bertani bisa dilakukan dengan smartphone, menggunakan AI, di dalam greenhouse yang sejuk.”Untuk menjawab tantangan itu, Fath memilih jalur edukasi. Ia menggagas kampanye ‘Ayo Bertani’ di berbagai kampus di Sulawesi Selatan, membuka kelas gratis melalui program edufarming, dan mengundang anak muda datang langsung melihat bagaimana SGH bekerja.
"Kalau mereka lihat sendiri, mereka akan sadar bahwa bertani adalah bagian dari pekerjaan masa depan," ungkapnya.
Data Sensus Pertanian 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat keresahan itu. Dari total 28,19 juta petani di Indonesia, hanya sekitar 21,9% atau 6,18 juta yang berusia 19-39 tahun. Artinya, hampir 80% petani kita sudah berusia di atas 40 tahun dan proporsi petani berusia lanjut terus meningkat setiap tahun.
Regenerasi petani menjadi isu krusial. Jika generasi muda tidak tertarik terjun ke dunia pertanian, Indonesia bisa menghadapi krisis pangan di masa depan. Inovasi seperti yang dilakukan SGH menjadi salah satu kunci untuk menarik minat generasi muda sekaligus mengubah persepsi mereka tentang profesi bertani.
Perjuangan panjang Fath perlahan berbuah manis. Inovasi yang dijalankan di SGH tak hanya memperkuat jejaring petani lokal, tapi juga menarik perhatian nasional.
Tahun 2024, Fath terpilih sebagai Young Agriculture Ambassadors Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Sebuah pengakuan atas kiprahnya menghidupkan semangat bertani di kalangan muda.
Tak berhenti di situ, pemanfaatan PLTS pada proses produksi kebun hidroponik serta penerapan AIoT system di Samata Green House juga diganjar penghargaan Satu Indonesia Awards tingkat provinsi di tahun 2024. Simbol bahwa kerja keras, kolaborasi, dan idealisme anak muda bisa memberi dampak nyata. Penghargaan itu menjadi bukti bahwa mimpi yang dirawat dengan kesetiaan akan menemukan jalannya sendiri.
Kini, Fath dan tim SGH terus melangkah dengan keyakinan yang sama. Mengubah persepsi, menguatkan petani, dan menumbuhkan harapan dari setiap bibit yang mereka tanam. Karena di setiap daun yang tumbuh, ada cerita tentang sekelompok anak muda yang memilih untuk terus bergerak dan berdampak.
Menyemai Dampak, Menuai Perubahan Nyata
Menjelang akhir percakapan, Fath mengucap sesuatu yang membuat saya terdiam. “Bertani bukan hanya menumbuhkan tanaman, tapi juga menyempurnakan manusia.”Awalnya, saya pikir kalimat itu klise, sebuah metafora semata. Tetapi kemudian Fath melanjutkan dengan penjelasan yang membuat arti kalimatnya semakin jelas.
Mendengar pernyataan Fath, mengingatkan saya pada sebuah riset dalam jurnal internasional Environmental Research and Public Health, 2021. Hasil penelitian menyebutkan, kegiatan berkebun dapat menurunkan level kortisol, sehingga bisa membawa perubahan positif untuk mengatasi rasa stres.
“Sekitar 90% dari apa yang kita makan berasal dari pertanian. Namun profesi petani sering dipandang sebelah mata. Tanpa mereka, kita akan sulit bertahan hidup. Bertani bukan sekadar menanam untuk menghasilkan uang. Tapi lebih pada menghargai proses, memahami alam, dan belajar sabar. Itulah maksud saya ketika mengatakan bertani menyempurnakan manusia.”
![]() |
Samata Green House pelopor pertanian modern di Indonesia Timur |
Mendengar pernyataan Fath, mengingatkan saya pada sebuah riset dalam jurnal internasional Environmental Research and Public Health, 2021. Hasil penelitian menyebutkan, kegiatan berkebun dapat menurunkan level kortisol, sehingga bisa membawa perubahan positif untuk mengatasi rasa stres.
Hal tersebut juga termasuk dalam proses menyempurnakan dan menyembuhkan manusia. Karena pada akhirnya, bercocok tanam tidak sebatas pekerjaan fisik saja. Tetapi juga terapi mental, ruang pembelajaran, dan medium untuk berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan.
Dengan tagline 'Drive The Future Farming', SGH pun turut menggerakkan masa depan pertanian modern. Sebuah sistem yang tidak hanya mengandalkan teknologi, tapi juga tentang mengubah paradigma siapa yang bisa bertani, bagaimana mereka bertani, dan untuk apa mereka bertani?
SGH menunjukkan bahwa pertanian bisa menjadi ruang multidimensi dan sistem yang holistik. Inovasi teknologi, pemberdayaan sosial, edukasi, dan pelestarian lingkungan berpadu dalam satu ekosistem yang saling menguatkan.
Dalam lima tahun, SGH telah memberdayakan masyarakat sekitar, melibatkan ratusan mahasiswa, dan mengubah wajah Samata menjadi lebih hijau. Membuka ruang kolaborasi menjadi mesin penggerak yang membuat perubahan dan inovasi ini terus berkelanjutan.
Fath dan Samata Green House mengingatkan saya tentang sesuatu yang fundamental, bahwa keterbatasan bukan akhir dari segalanya. Keterbatasan bisa menjadi awal dari inovasi, kolaborasi, dan perubahan yang bermakna.
Samata mungkin masih panas, berdebu, dan truk tambang masih berlalu-lalang. Namun kini ada pijar hijau yang tumbuh. Tidak lagi harus menunggu enam jam perjalanan untuk mendapatkan sayuran segar, anak muda punya kesempatan melihat pertanian dengan sudut pandang berbeda, dan teman-teman difabel menemukan ruang untuk berdaya.
Semua itu bermula dari 48 lubang hidroponik di tanah terik Samata. Dimulai dari seorang jurnalis yang memilih untuk menulis kisah bukan dengan tinta dan kertas, tetapi dengan sayuran hijau dan harapan. SGH adalah bukti hidup bahwa menyatukan gerak untuk terus berdampak menjadi kunci kebermanfaatan yang keberlanjutan.
#APA2025-BLOGSPEDIA
Referensi:
- Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 - Tahap I. Diakses dari https://www.bps.go.id/en/pressrelease/2023/12/04/2050/
- Jayadi, Fauzan. (2025). Adopsi Teknologi Pertanian Genjot Produktivitas Hingga 50 Persen. Diakses dari https://emitennews.com/news/adopsi-teknologi-pertanian-genjot-produktivitas-hingga-50-persen
- Jones, R.; Tarter, R.; Ross, A.M. Greenspace Interventions, Stress and Cortisol: A Scoping Review. Int. J. Environ. Res. Public Health 2021, 18, 2802. Diakses dari https://doi.org/10.3390/ijerph18062802
- Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). (2020). Analisa Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia: Tantangan dan Hambatan. Diakses dari https://kms.kemenkopm.go.id/index.php?p=fstream-pdf&fid=375&bid=362
Posting Komentar
Posting Komentar