Pagi itu, seperti biasa, saya terbangun sebelum alarm berbunyi. Masih gelap, belum ada tanda-tanda kehidupan di luar sana. Tapi tubuh seakan sudah terbiasa, semacam ada jam internal yang tahu bahwa hari akan dimulai dengan rangkaian rutinitas yang padat.
Menyajikan sarapan, mengecek aktivitas harian anak, memastikan kebutuhan suami sudah disiapkan, lalu sepanjang hari menemani si kecil sambil mendengarkan celotehannya tanpa henti tentang dinosaurus, planet, atau pertanyaan filosofis macam "Bunda, kenapa semut jalannya berbaris bersama?"
Ah, dunia anak-anak memang ajaib sekali. Masa yang indah sekaligus menguras energi. Apalagi anak saya yang masih usia dini, sedang berada di fase seperti spons kecil yang haus pengetahuan. Butuh stimulasi dan jawaban atas rasa segala ingin tahu mereka yang seperti tak ada habisnya.
Sebagai ibu, tentu saya ingin memberikan yang terbaik. Tapi di balik semua itu, ada perasaan yang kadang sulit diungkapkan. Setelah menikah dan memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, ada masa-masa saya merasa ruang bicara tiba-tiba menyempit. Bukan karena kehilangan suara, tapi karena panggungnya kini telah berbeda.
Dulu, saya terbiasa berdiskusi dengan rekan kerja tentang isu sosial, pendidikan, hingga kebijakan publik. Tapi, sejak memutuskan keluar dari pekerjaan profesional dan fokus mengasuh anak, percakapan berputar di topik tentang perkembangan anak, ide stimulasi, atau update kenaikan harga sembako.
Bahkan, ada fase dimana saya merasa minim berinteraksi dengan orang dewasa lainnya selain suami. Seharian penuh, mengerahkan energi untuk menghadapi si kecil yang ada saja tingkahnya.
Bukan berarti saya menyesal, karena menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan yang saya ambil dengan penuh kesadaran. Tidak bisa dipungkiri, tetap saja ada ruang di dalam diri yang terkadang terasa hampa.
Sempat ada momen ketika saya ingin belajar hal baru, membaca buku yang bukan buku cerita anak, atau sekadar duduk tenang sambil mendengarkan podcast. Tapi kemudian muncul perasaan aneh. Ada semacam takut mengabaikan anak, atau tidak cukup mindful dalam mendampingi mereka karena menyambi.
Sampai akhirnya, di tengah scroll media sosial yang seharusnya cuma sebentar, saya menemukan postingan di akun Sidina Community. Terpampang nyata flyer Pelatihan Ibu Penggerak Batch XI, dengan salah satu kalimat di captionnya yang membuat saya tergugah untuk bergabung.
Menjadi Ibu Penggerak akan memiliki gambaran mengenai realita pendidikan anak di era masa depan sehingga ibu akan lebih termotivasi untuk menemani anak belajar.
Seolah mendapatkan aha moment, saat membaca flyer itu seolah titik jenuh bersambut dengan sesuatu yang tidak hanya melegakan, tapi juga mengisi jiwa kembali. Peluang untuk investasi leher ke atas untuk diri, sekaligus investasi untuk masa depan anak.
Sidina Community: Ruang Tumbuh Penuh Cinta
Dalam perjalanan menjadi ibu, Sidina adalah ruang yang membantu saya tumbuh. Masih segar dalam ingatan, ketika pertama kali mengikuti Pelatihan Ibu Penggerak di bulan Februari 2023. Topik pelatihan kala itu seputar sosialisasi penerapan kebijakan kurikulum terbaru di Indonesia.
Peserta pelatihan dibawa pada penjelasan bagaimana kurikulum dirancang, apa filosofi di baliknya, dan bagaimana kita sebagai orang tua bisa mengawal kebijakan ini dengan mindful. Fasilitator bukan sekadar menyampaikan materi, tapi membuka ruang diskusi yang hangat karena relevan dengan keresahan para ibu.
Setelah zoom selesai, saya seolah mendapat energi baru yang pada akhirnya membawa saya terlibat pada kegiatan demi kegiatan berikutnya. Mulai dari ikut sosialisasi Kurikulum Merdeka di Solo, menyimak Jum’at pintar, berdiskusi di WAG regional dengan topik beragam, hingga merasakan luar biasanya mengikuti Training of Trainer Fasilitaor Ibu Penggerak.
Tidak hanya selalu mendapatkan, bersama Sidina saya pun merasakan bagaimana indahnya membagikan apa yang telah didapatkan. Pengalaman itu membuat saya punya jembatan penghubung dengan dunia luar selain mengurus anak, yaitu kembali terlibat aktif di gerakan sosial pendidikan yang dulu sempat saya gandrungi.
Begitulah Sidina Community hadir memberi warna di hidup saya. Lahir dari keyakinan sederhana namun syarat makna bahwa perubahan besar di masyarakat berawal dari seorang Ibu, komunitas ini juga menghadirkan Pelatihan Ibu Penggerak Sidina sebagai ruang menguatkan ketahanan keluarga.
Kita tidak bisa memilih dilahirkan dari keluarga seperti apa. Tapi kita bisa memilih untuk membuat perubahan dan membuat tradisi baru dalam keluarga kita untuk generasi penerus kita.
Kutipan tersebut mewakili tema 'Berawal dari Keluarga', Pelatihan Ibu Penggerak Sidina memberikan kesempatan bagi para perempuan yang berusia minimal 20 tahun untuk terus belajar, menguatkan peran, dan tentunya bertumbuh bersama dalam upaya mewujudkan ketahanan keluarga.
Melalui berbagai kegiatan lainnya, Sidina Community juga menjadi mitra resmi Kemendikdasmen dalam sosialisasi kebijakan pendidikan terkini. Telah membekali ribuan ibu di seluruh Indonesia dengan pembahasan seputar literasi pendidikan, parenting, kesehatan, keuangan, wirausaha, hingga pengembangan diri.
Tidak berhenti di teori, para lulusan pelatihan ini yang disebut Ibu Penggerak, punya kesempatan untuk terjun langsung ke masyarakat, menjadi relawan edukatif, dan membagikan ilmunya setelah mengikuti Training of Trainer Fasilitator Sidina.
Sejak bergabung dengan Sidina Community, saya merasakan perubahan yang membuat saya semakin terarah dalam menjalankan peran sebagai individu, istri, dan ibu. Berikut 5 hal mendasar yang berdampak positif dalam hidup saya:
Di Sidina, saya belajar untuk tidak langsung menelan mentah-mentah informasi, tapi juga tidak menolak tanpa dasar. Dari grup diskusi, kami dilatih dan diajak untuk bertanya dari mana sumber ini? Apa latar belakang penelitiannya? Apakah ini berlaku universal atau kontekstual?
Salah satu pelajaran berharga lainnya yang saya temukan di Sidina adalah bagaimana berpikir kritis tanpa kehilangan empati. Kami sering berdiskusi tentang berbagai isu yang barangkali disampaikan dengan sudut pandang berbeda dari setiap membernya. Mulai dari dunia pendidikan, parenting, sosial, ekonomi, hingga kesehatan mental. Di ruang diskusi itu, saya belajar melihat dari berbagai sisi, tidak tergesa menyimpulkan apalagi menghakimi.
Yang lebih penting, saya bisa mengajarkan ini ke anak-anak. Ketika mereka bertanya sesuatu, saya tidak hanya memberikan jawaban, tapi juga mengajak mereka mencari tahu bersama. Tentu dari cara ini bisa menjadi investasi jangka panjang untuk membangun pemikiran kritis mereka.
Di Sidina, saya menemukan kembali koneksi sosial yang bermakna. Meski terkadang berawal dari obrolan ringan di grup WhatsApp, pada akhirnya menjadi topik diskusi yang substansial dan menjadi informasi yang mahal.
Diskusi grup yang selalu aktif membuat saya merasa tidak ketinggalan perkembangan dunia di luar rumah. Hal ini terjadi karena ekosistem di komunitas yang suportif. Tidak ada judgment, tidak ada kompetisi siapa yang paling sempurna. Di situlah kami tumbuh bersama.
Sistem pembelajaran fleksibel berbasis komunitas tersebut mampu menarik lebih banyak perempuan untuk kembali upgrade diri. Dengan kata lain, Sidina memberikan lingkungan belajar yang menghargai ritme hidup para ibu.
Fleksibilitas inilah yang kemudian mendukung saya untuk menjalankan mother culture. Sebuah cara me time dengan lebih produktif, untuk memberikan hak pada diri sendiri.
Lewat berbagai diskusi, saya belajar mengenali lagi nilai-nilai yang selama ini saya abaikan. Saya pun mencoba mengenali diri, karena proses ini adalah kunci utama untuk mengelola emosi dan menjadi individu yang lebih utuh.
Kini, saya tidak lagi melihat peran ibu sebagai akhir dari karier profesional, tapi sebagai babak baru perjalanan batin yang lebih dalam. Saya belajar bahwa menjadi ibu bukan berarti berhenti bertumbuh, tapi justru belajar bertumbuh bersama anak.
Lewat berbagai programnya, saya juga belajar bagaimana berbagi ilmu dengan masyarakat sekitar sesuai kapasitas diri. Meski hanya lewat kelompok kecil atau postingan di media sosial, saya lakukan dengan sepenuh hati dan dengan upaya terbaik karena dari situlah menjadi representasi bagian Sidina Community.
Saya tidak lagi merasa tersandera oleh pilihan untuk fokus pada keluarga atau mengembangkan diri. Karena ternyata, saya bisa melakukan keduanya, menjadi ibu yang hadir untuk anak-anak, sekaligus menjadi perempuan yang terus tumbuh dan berkontribusi.
Sidina mengajarkan saya bahwa menjadi orang tua di zaman yang serba cepat ini memang menuntut kita untuk adaptif dan progresif. Tapi kita tidak harus melakukannya sendirian. Ada komunitas yang siap mendukung, ada ilmu yang bisa dipelajari bersama, dan ada ruang untuk terus berkembang.
Dengan bergabung di Sidina Community dan mengikuti Pelatihan Ibu Penggerak Sidina bukan hanya tentang hadir di kelas atau mendapat sertifikat. Melainkan sebuah transformasi menghadapi zaman yang cepat berubah dengan nilai-nilai sosial yang juga terus berevolusi.
Di tengah semua itu, kita butuh ibu-ibu yang mau terus belajar dan bertumbuh. Dimulai dari diri sendiri, lalu merambah ke keluarga, dan akhirnya ke masyarakat.
Jadi, jika Ibu juga ingin merasakan hal yang sama, ingin belajar hal baru tapi tidak ingin meninggalkan anak, inilah saatnya untuk bergabung di Sidina Community. Bisa kunjungi akun instagram @ibupenggeraksidina dan @sidina.community, atau bisa juga langsung mengisi form pada melalui tautan berikut ini: daftar member Sidina Community.
5 Perubahan Besar Setelah Bergabung di Sidina Community
Sebagai komunitas bagi para ibu untuk belajar dan mengembangkan diri, Sidina Community yang menjadi bagian dari Sidina Corp, mewujudkan ruang aman dan nyaman dalam beradaptasi dengan transformasi zaman. Terutama meningkatkan keahlian ibu dalam perkembangan teknologi digital yang semakin masif.
Sejak bergabung dengan Sidina Community, saya merasakan perubahan yang membuat saya semakin terarah dalam menjalankan peran sebagai individu, istri, dan ibu. Berikut 5 hal mendasar yang berdampak positif dalam hidup saya:
1. Belajar Berpikir Kritis, Tanpa Menjadi Skeptis
Di era informasi yang berlimpah seperti sekarang, kita dibanjiri berita, beragam tips, hingga teori konspirasi yang bertebaran di media sosial. Menimbulkan kebingungan mana yang benar dan mana yang harus dipercaya?Di Sidina, saya belajar untuk tidak langsung menelan mentah-mentah informasi, tapi juga tidak menolak tanpa dasar. Dari grup diskusi, kami dilatih dan diajak untuk bertanya dari mana sumber ini? Apa latar belakang penelitiannya? Apakah ini berlaku universal atau kontekstual?
Salah satu pelajaran berharga lainnya yang saya temukan di Sidina adalah bagaimana berpikir kritis tanpa kehilangan empati. Kami sering berdiskusi tentang berbagai isu yang barangkali disampaikan dengan sudut pandang berbeda dari setiap membernya. Mulai dari dunia pendidikan, parenting, sosial, ekonomi, hingga kesehatan mental. Di ruang diskusi itu, saya belajar melihat dari berbagai sisi, tidak tergesa menyimpulkan apalagi menghakimi.
Yang lebih penting, saya bisa mengajarkan ini ke anak-anak. Ketika mereka bertanya sesuatu, saya tidak hanya memberikan jawaban, tapi juga mengajak mereka mencari tahu bersama. Tentu dari cara ini bisa menjadi investasi jangka panjang untuk membangun pemikiran kritis mereka.
2. Komunitas yang Menumbuhkan
Dunia domestik kadang memang terasa sunyi, sementara media sosial yang kerap jadi pelarian kesunyian itu justru terlalu berisik yang membuat perbandingan makin terasa tajam. Selain kekhawatiran kehilangan lingkaran dukungan, paradoks tersebut menjadi salah satu kecemasan terbesar saya saat berhenti bekerja.Di Sidina, saya menemukan kembali koneksi sosial yang bermakna. Meski terkadang berawal dari obrolan ringan di grup WhatsApp, pada akhirnya menjadi topik diskusi yang substansial dan menjadi informasi yang mahal.
Diskusi grup yang selalu aktif membuat saya merasa tidak ketinggalan perkembangan dunia di luar rumah. Hal ini terjadi karena ekosistem di komunitas yang suportif. Tidak ada judgment, tidak ada kompetisi siapa yang paling sempurna. Di situlah kami tumbuh bersama.
3. Ruang Belajar yang Fleksibel dan Ramah Ibu
Sebagai ibu, menyisihkan waktu belajar tidak selalu berada dalam jadwal yang teratur. Kadang, saya baru bisa menonton ulang sesi pelatihan di tengah malam, saat rumah sudah tenang. Tapi justru di situlah saya menemukan kenikmatan belajar dengan cara baru yang tidak saya lakukan di masa sekolah atau kuliah dulu.Sistem pembelajaran fleksibel berbasis komunitas tersebut mampu menarik lebih banyak perempuan untuk kembali upgrade diri. Dengan kata lain, Sidina memberikan lingkungan belajar yang menghargai ritme hidup para ibu.
Fleksibilitas inilah yang kemudian mendukung saya untuk menjalankan mother culture. Sebuah cara me time dengan lebih produktif, untuk memberikan hak pada diri sendiri.
4. Mengenal Diri Sendiri Lebih Dalam
Sebelum bergabung dengan Sidina, saya pernah merasa kehilangan identitas. Saya tahu saya ibu dari anak saya, istri dari suami saya, tapi siapa saya di luar itu?Lewat berbagai diskusi, saya belajar mengenali lagi nilai-nilai yang selama ini saya abaikan. Saya pun mencoba mengenali diri, karena proses ini adalah kunci utama untuk mengelola emosi dan menjadi individu yang lebih utuh.
Kini, saya tidak lagi melihat peran ibu sebagai akhir dari karier profesional, tapi sebagai babak baru perjalanan batin yang lebih dalam. Saya belajar bahwa menjadi ibu bukan berarti berhenti bertumbuh, tapi justru belajar bertumbuh bersama anak.
5. Mengembalikan Rasa Percaya Diri dan Makna Hidup
Salah satu dampak paling terasa dari menjadi bagian Sidina adalah kembalinya rasa percaya diri. Setiap hasil diskusi dan informasi yang dibagikan, menjadi bekal untuk menyampaikan berdasarkan sumber terpercaya.Lewat berbagai programnya, saya juga belajar bagaimana berbagi ilmu dengan masyarakat sekitar sesuai kapasitas diri. Meski hanya lewat kelompok kecil atau postingan di media sosial, saya lakukan dengan sepenuh hati dan dengan upaya terbaik karena dari situlah menjadi representasi bagian Sidina Community.
Menjadi Ibu Yang Terus Bergerak
Kadang, perubahan besar tidak datang dari langkah besar. Tapi justru dari keberanian kecil untuk membuka pintu baru. Seperti itulah gambaran bagaimana saya bergabung dengan Sidina Community. Karena sadar akan kapasitas diri yang masih minim, tapi ingin punya dampak kebermanfaatan yang luas.
Saya tidak lagi merasa tersandera oleh pilihan untuk fokus pada keluarga atau mengembangkan diri. Karena ternyata, saya bisa melakukan keduanya, menjadi ibu yang hadir untuk anak-anak, sekaligus menjadi perempuan yang terus tumbuh dan berkontribusi.
Sidina mengajarkan saya bahwa menjadi orang tua di zaman yang serba cepat ini memang menuntut kita untuk adaptif dan progresif. Tapi kita tidak harus melakukannya sendirian. Ada komunitas yang siap mendukung, ada ilmu yang bisa dipelajari bersama, dan ada ruang untuk terus berkembang.
Dengan bergabung di Sidina Community dan mengikuti Pelatihan Ibu Penggerak Sidina bukan hanya tentang hadir di kelas atau mendapat sertifikat. Melainkan sebuah transformasi menghadapi zaman yang cepat berubah dengan nilai-nilai sosial yang juga terus berevolusi.
Di tengah semua itu, kita butuh ibu-ibu yang mau terus belajar dan bertumbuh. Dimulai dari diri sendiri, lalu merambah ke keluarga, dan akhirnya ke masyarakat.
Jadi, jika Ibu juga ingin merasakan hal yang sama, ingin belajar hal baru tapi tidak ingin meninggalkan anak, inilah saatnya untuk bergabung di Sidina Community. Bisa kunjungi akun instagram @ibupenggeraksidina dan @sidina.community, atau bisa juga langsung mengisi form pada melalui tautan berikut ini: daftar member Sidina Community.
Karena percayalah, ibu yang terus belajar adalah investasi terbaik untuk masa depan anak-anaknya.
#ToTBatch7Sidcom
#FasilitatorSidinaCommunity
#SehatCerdasBerdaya
#SidinaCommunity
Posting Komentar
Posting Komentar