“Kita tidak pernah benar-benar menciptakan sesuatu. Semuanya sudah ada di dunia, yang kita lakukan hanyalah menyusun kembali. Coba pikirkan kembali hukum kekekalan massa. Jumlah benda yang kita miliki sebenarnya selalu sama, tetapi dunia menjadi tempat yang lebih indah karena kita menyusun ulang benda-benda tersebut”
(Paul Romer)
Menelusuri jalur rempah di Nusantara memang bukanlah hal yang sederhana untuk dilakukan. Kembali membuka memori sejarah dan mengenang kejayaan Nusantara ketika menjadi poros maritime dunia karena berlimpahnya rempah sebagai komoditi yang diperdagangkan secara global, butuh waktu yang tidak sebentar. Namun, dengan memikirkan kembali hukum kekekalan massa seperti yang Paul Romer bilang, tampaknya akan menjadi sebuah pendekatan yang bukan saja menggali jejak sejarah, melainkan ada upaya membangkitkan kembali symbol kejayaan Nusantara di setiap jejak perjalanan rempah dengan menyusun ulang berbagai hal yang masih bisa dijumpai.
Temuan studi sejarah mencatat bahwa jejak rempah-rempah Nusantara telah ditemukan pada berbagai kebudayaan kuno. Sebut saja di Mesopotamia, Babilonia, Asyiria, hingga Mesir telah memanfaatkan rempah-rempah Nusantara untuk menguatkan citarasa makanan juga upacara keagamaan. Sejak 24 SM, dengan menguasai rute perjalanan yang sudah dimonopoli oleh orang-orang Arab Selatan, Bangsa Romawi mengetahui rempah-rempah bukan hanya dari Nusantara. Meski tidak diketahui secara pasti apakah Bangsa Romawi mengetahui rempah dari Nusantara, pada tahun 2014 silam penelitian sains di sebuah lokasi penggalian arkeologi di dekat Napoli, Italia Selatan, mengungkapkan bahwa masyarakat era Romawi Kuno sudah mengonsumsi rempah-rempah khas Indonesia.
Di sisi lain, membuka kembali jalur rempah tentunya harus diiringi dengan jelajah bahari yang menjadi kunci utama bagi Nusantara sebagai Kawasan bersejarah dalam jalur perniagaan dunia. Budaya bahari Nusantara dimulai sekitar 4500 tahun yang lalu ketika para penutur Bahasa Austronesia berdatangan dengan perahu untuk saling bertukar rempah dan komoditi lain dari Indonesia bagian timur. Perjalanan rempah yang dibawa pelaut Austronesia hingga ke Asia Selatan dan Afrika Timur, dibuktikan dengan penemuan jejak kayu gaharu di India serta kayu manis dan cengkeh di Mesir juga Suriah.
Pada abad 2-7 Masehi, para petualang bahari dari Pulau Jawa telah sampai di Cina berkat jalur rempah yang menghubungkan India dan China. Tidak cukup sampai disitu, kapal-kapal para pelaut Nusantara juga membawa para para biarawan dari Cina untuk belajar agama Budha di Sriwijaya dan di India. Sekitar abad 7-15 Masehi, kerajaan-kerajaan besar di Nusantara juga mempunyai andil yang besar dalam membangun jalur perniagaan dunia. Kerajaan Sriwijaya, Mataram Hindu, Singasari, dan Majapahit menmanfaatkan perdagangan rempah sebagai jalur perdagangan dan diplomatis dengan wilayah-wilayah di Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat, China, hingga ke Afrika Timur. Barulah pada abad 15-17 Masehi ketika perkembangan kartografi dan semangat eksplorasi ilmu pengetahuan di Eropa marak dilakukan, daya tarik rempah-rempah Nusantara memicu Bangsa Eropa berlayar ke Nusantara. Sebuah proses yang dinamis kemudian mengantarkan masa penjajahan selama kurang lebih tiga setengah abad lamanya. Kolonialisasi yang dilakukan para pedagang Eropa telah mengubah peta perdagangan dunia. Dari yang semula saling berbagi antar pedagang Asia, kemudian dimonopoli oleh pedagang Eropa yang mengeksploitasi potensi kekayaan alam Nusantara.
Meski rempah telah diperdagangkan berabad lamanya sebelum Masehi, namun keberadaan Jalur Rempah tidak terlalu dikenal oleh dunia dibandingkan dengan Jalur Sutra. Berbagai studi dan pendekatan untuk membuka rahasia jalur rempah, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Hubungan perdagangan berbagai bangsa yang berdatangan di Nusantara sejak zaman kerajaan, tentunya tidak hanya menimbulkan implikasi ekonomi, namun juga pada bidang keagamaan, politik, ilmu pengetahuan, hingga kesenian dan kebudayaan.
Dalam upaya rekonstruksi dan revitalisasi jejak jalur rempah Nusantara, perlu dilakukan studi multidisiplin sekaligus menggali kembali berbagai informasi di masa kejayaan rempah, yang berlangsung ribuan tahun sebelum orang-orang Eropa datang untuk menguasainya. Ada banyak pendekatan yang dapat dilakukan, salah satunya melalui ragam kuliner nusantara yang dimiliki oleh setiap daerah. Sebab, beragamnya kuliner Nusantara tidak terlepas dari kekayaan rempah yang ada sekaligus terdapat sisi historis dan filosofis.
Dalam khazanah kuliner nusantara, rempah-rempah menjadi kunci dari identitas masakan itu sendiri. Mayoritas masakan di Indonesia memiliki filosofi yang mendalam baik itu ditinjau dari proses memasaknya maupun bahan yang digunakan. Setiap daerah yang berbeda, akan didapati makanan yang berbeda pula, bergantung pada bahan pangan dan rempah yang tumbuh di daerah tersebut. Sekalipun bahan dan proses memasaknya hampir sama, namun kebudayaan setempat memberikan setuhan makna yang berbeda. Dalam kehidupan bermasyarakat, kuliner juga menjadi tempat berdialognya lintas budaya sehingga melahirkan identitas multikultural. Tidak sebatas dengan sesama pribumi, perkawinan dengan budaya Eropa, India, Tionghoa, Arab, maupun Melayu lainnya semakin memperkaya cita rasa kuliner Nusantara. Ketersediaan rempah yang ada, dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan dijadikan ciri khas setiap makanan. Karenanya, kuliner menjadi salah satu elemen kebudayaan suatu bangsa yang mudah dikenali.
Setiap suku di Nusantara memiliki pengetahuan untuk mengembangkan dan mengolah bahan-bahan alam yang ada di sekitarnya, sehingga membentuk budaya kuliner setempat seperti makanan pokok, makanan khas, hidangan pesta, jamuan, hingga oleh-oleh. Budaya kuliner sendiri tidak terlepas dari pengaruh penyebaran agama, perdagangan, politik, dan kebudayaan. Hal tersebut menjadikan masakan Nusantara menjadi khazanah kuliner yang paling kaya dengan pengaruh cita rasa yang kuat. Tanaman bumbu dari negara di benua Asia lainnya, seperti India, Cina, maupun Arab telah dikembangkan sejak zaman dahulu dan telah terintegrasi dengan seni kuliner di Indonesia tanpa menghilangkan kekhasan budaya kuliner setempat. Proses difusi, akulturasi, bahkan asimilasi kebudayaan yang dinamis telah menjadikan multikulturalisme kuliner nusantara.
Pengaruh India dalam kuliner di Indonesia dimulai pada abad ke-4, disusul dengan penyebaran muslim India di Indonesia. Beberapa hidangan yang terpengaruh budaya India yg juga kuat dalam penggunaan rempahnya adalah nasakan Aceh, Minangkabau, Melayu, dan Betawi. Begitu pula dengan orang-orang Arab dalam tujuannya berdagang dan berdakwah juga membawa pengaruh msakan arab hingga terakulturasi pada beberapa makanan Nusantara seperti rabeg, roti pita, dan martabak.
Salah satu budaya kuliner yang cukup kuat pengaruhnya di Indonesia adalah akibat migrasi China ke Indonesia pada abad ke-7. Banyak hidangan popular di Indonesia yang medapat pengaruh Cina seperti soto, laksa, nasi goreng, dan bakso. Sementara Belanda, melalui kolonialisme, memperkenalkan berbagai macam jenis roti, semur, sop buntut, selat solo, dan bistik Jawa. Bangsa Portugis dan Spanyol yang terlebih dahulu datang ke Nusantara, telah memperkenalkan berbagai rempah seperti cabai, lada, kayu manis, dan saffron. Masakan Indonesia yang terintegrasi dengan masakan Portugis dan Spanyol diantaranya pastel, risoles, gado-gado.
Meski terpengaruh budaya kuliner bangsa lain, pada akhirnya kuliner Nusantara menemukan komposisi yang tepat sehingga melahirkan makanan khas. Tidak hanya dipengaruhi oleh rempah yang dibawa bangsa lain, berbagai daerah di Indonesia juga tercatat sebagai sumber asli tanaman rempah. Sebut saja Kepulauan Maluku yang terkenal sebagai Pulau Rempah, dikenal sebagai penghasil pala, cengkih, kapulaga, dan laos. Pada masa dahulu, Kerajaan Sunda dan Kesultanan Banten merupakan penghasil lada hitam terbaik di masanya.
Memetakan potensi kuliner nusantara yang erat kaitannya dengan penggunaan rempah di berbagai daerah, menjadi sebuah peluang untuk membangkitkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya menggali kembali pengetahuan tentang jalur rempah. Peta potensi kuliner yang disesuaikan dengan jalur rempah, tentunya akan menjadi daya tarik tersendiri bagi sector pendidikan dan pariwisata di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan target wisata tematik yang sedang dikembangkan dalam program pariwisata berkualitas. Memberikan pengalaman pesona budaya Indonesia melalui perjalanan keberagaman cita rasa dapat diperkenalkan melalui wisata kuliner yang diintegrasikan dengan wisata sejarah dan budaya daerah setempat.
Membicarakan potensi kuliner, tentu tidak sebatas kegiatan memakan saja. Melainkan ada proses pehamanan sejarah, seni, budaya, dan tinjauan pengetahuan. Dalam sejarah Indonesia, keramahan raja-raja Nusantara juga tercermin dalam sajian kuliner yang khas untuk penyambutan tamu maupun jamua pesta. Sajian yang menjadi simbol keramahan dan keterbukaan inilah yang kemudian membuka peluang kerjasama dengan berbagai bangsa, termasuk perdagangan rempah di masa silam. Jejak kuliner berbagai daerah di Indonesia sebagai peninggalan sejarah yang hingga saat ini masih bisa ditemukan, dapat dikuatkan kembali secara budaya maupun seni sajiannya. Harapannya, dengan penguatan tersebut dapat digunakan sebagai penelusuran jejak daerah produksi rempah hingga dibawa muara atau ke pelabuhan sepanjang pantai yang berlanjut dengan perniagaan antar pulau dalam zona perdagangan laut yang pernah ada di Nusantara. Dengan demikian, wisata kuliner yang tidak hanya menonjolkan dari makanannya saja namun juga dari sisi gastronomi, dapat dijadikan sebagai cara menata ulang sejarah perjalanan rempah untuk kembali mengenalkan Indonesia sebagai surganya rempah-rempah.
Artikel ini ditulis dalam rangka mengikuti Lomba Penulisan dan Foto 'Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia' tahun 2021
Daftar Pustaka:
Marihandono, Joko & Bondan Kanumoyoso. 2017. “Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarakat Nusantara”, Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahman, Fadly. ““Negeri Rempah-Rempah” Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah”, dalam Patanjala Vol.11, No.3, September 2019.
Sulistiyono, Singgih Tri. “Melacak Kontruksi Konsep ‘Jalur Rempah’ Dalam Penelitian Sejarah Maritim Indonesia: Pengalaman Pribadi”, dalam paparan Seri Webinar Arsip Jalur Rempah, dengan tema: Arsip Jalur Rempah dan Poros Maritim Dunia Serta Peluncuran Pameran Arsip dan Film Dokumenter Memori Rempah Nusantara Kerjasama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Arsip Nasional RI, 15 November 2020.
Utami, Sri. “Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya”, dalam CoverAge, Vol. 8, No. 2, Maret 2018. Askuri. 20121. “Antroplogi Kuliner Nusantara”, http://tausia.net/2021/05/05/antropologi-kuliner-nusantara/, diakses pada 31 Agustus 2021.
Daftar Pustaka:
Marihandono, Joko & Bondan Kanumoyoso. 2017. “Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarakat Nusantara”, Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahman, Fadly. ““Negeri Rempah-Rempah” Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah”, dalam Patanjala Vol.11, No.3, September 2019.
Sulistiyono, Singgih Tri. “Melacak Kontruksi Konsep ‘Jalur Rempah’ Dalam Penelitian Sejarah Maritim Indonesia: Pengalaman Pribadi”, dalam paparan Seri Webinar Arsip Jalur Rempah, dengan tema: Arsip Jalur Rempah dan Poros Maritim Dunia Serta Peluncuran Pameran Arsip dan Film Dokumenter Memori Rempah Nusantara Kerjasama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Arsip Nasional RI, 15 November 2020.
Utami, Sri. “Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya”, dalam CoverAge, Vol. 8, No. 2, Maret 2018. Askuri. 20121. “Antroplogi Kuliner Nusantara”, http://tausia.net/2021/05/05/antropologi-kuliner-nusantara/, diakses pada 31 Agustus 2021.
Posting Komentar
Posting Komentar