About Me

Follow on Facebook

header blog terbaru

Pesan Soedjatmoko Untuk Ibu Rumah Tangga

Posting Komentar
pesan soedjatmoko untuk ibu rumah tangga

“Masa depan yang akan datang adalah masa depan anak-anak, bukan masa depan generasi tua. Bangsa kita hanya akan memiliki masa depan apabila anak-anak kita berkeyakinan, bahwa mereka masih mempunyai masa depan. Marilah kita songsong masa depan bersama anak-anak kita” (Soedjatmoko, 1984)

Ibu rumah tangga menjadi profesi yang kerap dipandang sebelah mata. Aktivitas yang tak jauh dari mengurus rumah, suami, dan anak, nyatanya menjadi pekerjaan yang nyaris tiada jeda. Seolah, setiap tenaga yang tercurah tak bernilai layaknya mereka yang menghabiskan waktu berkiprah di ranah publik.

Namun belakangan, banyak yang menyuarakan perihal keberadaan ibu rumah tangga. Tak sedikit pula perempuan yang kini berani mengatakan profesi utamanya sebagai ibu rumah tangga, sedangkan profesi lainnya adalah pekerjaan sampingan. Kendati demikian, perubahan di berbagai lini kehidupan kerap kali status ibu dan keberadaan anak dijadikan kambing hitam atas ketidaksiapan akan perubahan tersebut.

Paradoks yang tak terbantahkan. Ada yang memperjuangkan bagaimana kedudukan seorang ibu rumah tangga mempunyai peran strategis di masyarakat. Namun dihadapkan pula pada kenyataan bahwa beberapa diantara mereka tidak siap menghadapi dinamika ruang publik yang erat kaitannya dengan penolakan dan penerimaan yang kerap kali tak diimbangi dengan kebijakan pemerintah.

Dalam sebuah makalah yang disampaikan oleh Soedjatmoko pada Sidang Pleno 1 Konferensi Nasional Pembinaan dan Perkembangan Kesejahteraan Anak yang diselenggarakan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia dan digelar pada 23-26 Juli 1984, tentang Anak Sebagai Potensi Sumber Daya Manusia, ada pesan menarik yang patut direnungkan.

Secara tersirat, menjadi pesan Soedjatmoko untuk ibu rumah tangga, baik itu posisi para ibu sebagai subjek maupun objek. Ibu sebagai individu memiliki peran sentral dalam keluarga, kemajuan bangsa, bahkan gemilangnya suatu peradaban. Demikian pula pandangan Soedjatmoko pada generasi masa depan yang salah satu kualitasnya ditentukan oleh keluarga.

Soedjatmoko dan Pandangannya Tentang Pendidikan Dalam Keluarga

Profil Soedjatmoko
Soedjatmoko merupakan seorang pemikir besar yang lahir tahun 1922. Meski namanya jarang dikenal masyarakat, namun beliau mampu memberikan gambaran menarik tentang Indonesia. Pemikiran yang tajam dan jernih, mampu membaca situasi yang akan terjadi dan dihadapi generasi masa depan.

Barangkali, tak sedikit yang akhir-akhir ini membaca tulisan-tulisan beliau. Namun rasanya siapa sangka tulisan berusia puluhan tahun lalu, seperti baru kemarin beliau menuliskannya karena apa yang disampaikan masih relevan dengan berbagai hal yang terjadi. Cara bertutur dalam deretan kata demi kata, memperlihatkan kualitas pemikiran dan intelektualitas beliau yang sekaligus dilengkapi dengan pemahaman akan masyarakat, bangsa, bahkan skala internasional.

Dilahirkan dari keluarga priyayi Jawa yang hidup di Sumatera membuatnya mampu menikmati akses pendidikan sewaktu kecil. Kiprahnya pun sangat dinamis, yang tidak lantas membuat dirinya nyaman. Sekalipun dirinya bersekolah di sekolah kedokteran, tidak lantas membebek pada rezim fasisme Jepang.

Kedekatan emosional dan intelektualnya pada Partai Sosialis Indonesia yang didirikan oleh Sjahrir membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Maka kesempatan itu pun dimanfaatkannya untuk belajar secara otodidak tentang berbagai pemikiran. Dirinya sangat terbuka dengan berbagai bacaan dan pemikiran, sehingga ketika masa kemerdekaan dia dipercaya oleh Sjahrir untuk menjadi delegasi Indonesia untuk berdiplomasi di dunia.

Pergaulannya secara internasional membentuk cara berpikir dalam merumuskan model manusia Indonesia yang tepat di masa depan. Persaingan internasional yang semakin dinamis menuntut kemampuan untuk kompetensi global yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Kompetensi ini antara lain adalah kemampuan komersial, kemampuan untuk senantiasa memantau perkembangan dunia luar serta kemampuan untuk memberikan respon yang cepat tanpa terjebak pada reaksionerisme. Maka arus informasi yang bebas dan penguasaan bahasa asing menjadi instrumen yang yang penting dalam arus dinamika internasional ini.

Banyak pemikiran Soedjatmoko yang dapat dijadikan renungan seperti tentang kependudukan yang menghasilkan residu-residu baru jika tidak ditangani dengan bijak. Penduduk Indonesia sudah diproyeksikan Soedjatmoko berkisar 250 juta di tahun 2020. Jika kita melihat statistik yang dirilis BPS tahun 2022, proyeksi Soedjatmoko mendekati benar, karena hari ini jumlah penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa.

Besarnya jumlah penduduk ini akan berimplikasi pada kualitas sumber daya manusia dalam proses pembangunan. Soedjatmoko percaya bahwa sumber daya manusia merupakan modal yang paling menentukan bagi suatu bangsa dibandingkan dengan kepemilikan sumber daya alam. Kualitas sumber daya manusia di masa akan datang dapat ditentukan oleh kemampuan untuk mengembangkan potensi yang terdapat pada anak-anak kita.

Di sisi lain, menurut Soedjatmoko akan terjadi perubahan sosial struktural akibat pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi begitu cepat. Perubahan tersebut mengubah pola hidup masyarakat dan berdampak cukup besar pada produktivitas berbagai golongan dan daerah yang mampu memanfaatkannya dengan baik. Akan ada perubahan dalam tata nilai, yang dicerminkan dalam peningkatan kesadaran politik, aspirasi kehidupan pribadi, serta dalam dimensi kesadaran masyarakat mengenai kehidupan etis dan estetis.

Menghadapi masa depan yang dinamis, dalam pandangan Soedjatmoko diperlukan adanya program pembinaan bagi segenap anak kelompok usia 15 tahun ke bawah dari berbagai kalangan masyarakat. Tujuan program ini adalah sebagai proses sosialisasi menuju masa depan yang terbuka melalui perkembangan otak dan perkembangan watak melalui program pendidikan formal reguler dengan orientasi baru, serta pendidikan non formal yang fokus mengajarkan kemampuan sosial-sosial baru.

Dalam pendidikan formal reguler, yang harus dikuatkan adalah retrainability dan diversifikasi pelayanan pendidikan di sekolah. Retrainability akan mengembangkan kemampuan untuk memperbaiki diri sendiri secara terus menerus sekaligus memenuhi tuntutan-tuntutan pembaharuan yang terjadi. Sedangkan melalui diversifikasi pelayanan pendidikan di sekolah diharapkan agar sistem pendidikan mampu menghasilkan setiap jenis tenaga kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Sementara program untuk mengajarkan kemampuan sosial baru yang digawangi oleh pendidikan non formal, bertujuan agar anak-anak terlatih untuk mengenal dan melaksanakan pola-pola pergaulan sosial yang dapat menciptakan rasa solidaritas dan kemampuan kontemplatif.

Tantangan pelaksanaan kedua program tersebut selain pada lembaga-lembaga pendidikan yang ada, juga dihadapkan pada tradisi kepengasuhan yang masih terpengaruh feodalisme dan kolonialisme. Sehingga diperlukan lingkungan-lingkungan pendidikan dan kepengasuhan baru yang bersifat makro maupun mikro.

Lingkungan belajar makro, dapat diciptakan jika secara kolektif mempunyai kesadaran melaksanakan kegiatan belajar. Salah satu cara meningkatkan kesadaran tersebut adalah dengan menambah lingkungan-lingkungan mikro, yang secara luas tercermin dalam pendidikan keluarga dan sekolah.

Sayangnya, masalah sejak dulu tampaknya sama. Yang terjadi adalah sekolah kurang mendukung dalam internalisasi suatu tata nilai, sedangkan keluarga kurang mampu mendukung perkembangan kognitif yang dialami anak-anak melalui program-program di sekolah.

Untuk itu, sebagai bentuk upaya menyukseskan pembangunan, keluarga sebagai kelompok sosial terkecil dalam masyarakat, diharapkan mampu menghadirkan suasana dan kemauan belajar agar anak dapat berkembang secara optimal. Didukung pula dengan orang tua yang supportive tanpa membenturkan pada anggapan bahwa anak adalah kelanjutan diri dari orang tua.

Pesan Soedjatmoko Untuk Ibu Rumah Tangga

pesan tersirat dari soedjatmoko
Menyelami peran keluarga dalam menyiapkan masa depan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa, tentu tidak terlepas dari pola asuh dan pendidikan dari orang tua. Khususnya bagi para ibu, sebagai pusat pendidikan di keluarga memiliki peran yang tidak sederhana. Dari pemikiran Soedjatmoko yang begitu luas memandang pendidikan, tanpa disadari ada pesan-pesan tersirat bagi para ibu maupun kebijakan pemerintah untuk meningkatkan peran dan kualitas mereka.

Ibu dan Tugas Mendidik Dirinya Sendiri

Sebagai ibu rumah tangga, saya menangkap pesan Soedjatmoko begitu lugas dalam makalah yang disampaikan pada sidang pleno I Konperensi Nasional Pembinaan dan Pengembangan Kesejahteraan Anak, bahwa sebagai individu seorang ibu harus mampu mendidik dirinya sendiri. Tidak sedikit perempuan yang menyelesaikan pendidikan hingga S3 dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga.

Kemampuan mendidik tentu saja tidak melulu berkaitan dengan tingginya jenjang pendidikan yang ditempuh. Namun, anggapan bahwa untuk menjadi ibu tidak perlu berpendidikan tinggi harus ditepis dengan ilmu dari bangku perkuliahan masih tetap relevan diterapkan meski dalam tatanan keluarga, khususnya selama proses mendidik anak.

Kemampuan seorang ibu mendidik dirinya sendiri juga erat kaitannya dengan bagaimana menyikapi perubahan yang terjadi, terlebih dalam dunia teknologi. Ibu punya peran sentral untuk memberi izin dan pengawasan pada anak akan penggunaan teknologi. Sebelum benar-benar memutuskan diperbolehkannya anak menggunakan teknologi tersebut, sangat penting bagi para ibu mempelajari cara kerjanya.

Hal tersebut ditujukan agar lebih bijak dalam pemakaian teknologi, yang manfaat jangka panjangnya memahamkan pada anak tentang nilai suatu teknologi bagi kehidupan. Apakah hanya perangkat untuk bersenang-senang, ataukah gawai yang mampu dijadikan sebagai sarana memberikan kebijakan yang transformatif dan progresif bagi masyarakat sekitarnya.

Kebijakan Tentang Ruang Bagi Para Ibu Rumah Tangga

Lagi-lagi, berbicara dari sudut pandang pengalaman sebagai ibu rumah tangga, kadang kala saya tidak memiliki kemudahan akses dalam menjangkau dunia ilmu pengetahuan yang saya minati. Ini kerap dialami oleh beberapa ibu lainnya yang masih memiliki semangat untuk belajar, namun masih terkendala biaya dan waktu untuk menempuh pendidikan formal. Sering kali, untuk mendapatkan akses dalam dunia ilmu pengetahuan melalui seminar ilmiah, kami diatasi oleh ketersediaan ruang dengan status ‘ibu rumah tangga’.

Sebagai contoh ketika akan mengisi form pendaftaran, kerap kali harus mengisi institusi. Bagi para ibu rumah tangga, tentu saja ini menjadi kendala. Oleh sebab itu, sebagai langkah kecil mewujudkan lingkungan pendidikan makro yang bisa diakses kapan dan dimana saja, perlu adanya ruang bagi para ibu mendapatkan akses meningkatkan kapasitas keilmuannya.

Kebijakan tentang ruang bagi para ibu rumah tangga ini juga dapat diwujudkan dengan adanya pertemuan dengan berbagai kalangan yang tidak terbatas. Menurut pandangan Soedjatmoko, pertemuan semacam ini akan menciptakan lingkungan belajar makro yang mampu mendorong setiap anggota masyarakat untuk memperkaya dan memperbaharui pengetahuannya.

Segala macam pemikiran dan refleksi yang Soedjatmoko maksud dapat tercipta jika habitat masyarakatnya terbentuk dengan baik. Lingkungan masyarakat yang demokratis dan mudah segala akses informasi yang komprehensif. Masyarakat yang kuat dan matang akan memiliki daya untuk mengorganisasi diri sendiri yang merupakan bekal penting untuk pembangunan. Dalam hal ini, ibu rumah tangga adalah bagian dari masyarakat itu sendiri dan punya peran untuk menyukseskan pembangunan.



Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Menulis Esai Untuk Orang Muda 'Membaca Soedjatmoko' Tahun 2022

Related Posts

Posting Komentar