Merasa tak berharga, tidak produktif seperti dulu kala, sering overthinking, dan berbagai perasaan negatif lainnya masih saja hadir yang justru membuat saya semakin tertekan. Bahkan, sampai membuat saya mengalami gangguan tidur dan tidak fokus.
Belum lagi stigma di masyarakat yang sering membanding-bandingkan antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga. Maksud hati tidak ingin terpengaruh, tapi apa daya jika kalimat-kalimat perbandingan itu keluar dari mulut orang-orang terdekat.
Tidak mengherankan jika perempuan menjadi kelompok yang paling rentang terhadap masalah kesehatan mental, khususnya ibu rumah tangga. Dengan multi peran yang harus dijalani namun tidak banyak yang memberi dukungan.
Sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk memperbaiki mindset. Lebih memilih untuk menggunakan kata stay-at-home-mom dibanding full-time mom. Sebab, semua ibu adalah ibu sepenuhnya, baik ibu bekerja maupun ibu rumah tangga.
Pada kenyataannya, ibu rumah tangga juga tetap bekerja, bahkan terkadang dengan beban pekerjaan yang tidak lebih sedikit dari ibu yang bekerja. Belum lagi jika ternyata punya pekerjaan sampingan yang hanya bisa dikerjakan ketika seluruh anggota keluarga lainnya sudah terlelap. Bukankah ini menandakan seolah tiada waktu jeda bagi seorang ibu?
Begitu pula dengan ibu bekerja di ranah publik yang harus memastikan urusan rumah tetap beres, anak pun terawat dengan baik. Sebelum benar-benar berangkat bekerja sudah menyiapkan segala keperluan anggota keluarga, pun sepulang kerja masih harus membereskan pekerjaan rumah.
Jadi, ibu rumah tangga tetaplah working-mom, dan ibu bekerja pun tetaplah full-time mom. Memperbaiki mindset ini pula yang akhirnya mengantarkan saya pada memaknai kembali arti produktivitas. Bisa dibilang, pada akhirnya saya menemukan makna produktif yang lebih sederhana tapi sangat mewakili diri saya.
Jika sebelum menikah saya menilai produktif dari materi dan banyaknya kegiatan yang bisa dilakukan dalam sehari, maka sekarang saya merubahnya dalam bentuk durasi. Bukan lagi kuantitas, tapi kualitas. Terutama, kualitas untuk menyajikan yang terbaik tapi tetap memiliki waktu untuk diri sendiri.
Ya, sesederhana itu. Seperti jika biasanya memasak butuh waktu 2 jam tapi bisa diselesaikan dalam waktu 1 jam, bagi saya itu sudah produktif. Saya jadi punya cukup waktu untuk bonding dengan diri sendiri maupun dengan anak dan suami.
Mengubah sudut pandang ini, ternyata membawa banyak perubahan positif dalam hidup saya untuk menjalani peran lebih mindful sebagai individu, istri, dan ibu. Meski tampak sederhana, tapi cukup berpengaruh dalam menjaga kesejahteraan diri dan stabilitas emosi.
Cara Menjaga Kesehatan Mental Untuk Meningkatkan Produktivitas dan Kreativitas
Saat dalam kondisi tidak tau harus bagaimana, saya menyadari bahwa kualitas hidup saya sedang tidak dalam kondisi yang baik. Jika tidak ingin dampak buruk semakin luas mempengaruhi berbagai aspek hidup, maka saya harus segera menolong diri sendiri.Untuk itu, saya memilih memperbaiki diri dari cara yang paling mudah dan sederhana. Hal ini saya lakukan karena tidak ingin terpaku pada target yang muluk-muluk dan berujung pada kekecewaan karena tidak terlaksana. Berikut beberapa cara yang saya pilih untuk menjaga kesehatan mental sekaligus meningkatkan produktivitas dan kreativitas:
1. Mengatur jadwal harian yang teratur dan realistis
Sebagai seorang ibu yang banyak mau, sudah pasti saya ingin tetap bisa menjalankan tugas domestik dengan baik tapi tetap bisa mengembangkan diri tanpa merasa perlu mengorbankan sesuatu. Untuk itu, saya belajar tentang teknik manajemen waktu yang sekiranya sesuai dengan kondisi diri.Setelah belajar melalui banyak cara, mulai dari buku, situs pengembangan diri, dan mengikuti berbagai kelas, akhirnya saya menemukan metode time blocking sebagai cara yang tepat untuk mengatur waktu. Metode ini memungkinkan saya bisa membuat jadwal harian yang lebih teratur, tetapi tetap fleksibel.
Dimulai dari membagi waktu 24 jam ke dalam blok-blok waktu tertentu. Dalam hal ini, saya membagi ke dalam 4 blok waktu yang setiap bagiannya terdapat tugas spesifik yang harus saya lakukan.
Sebagai contoh, pukul 06.00-12.00 WIB saya alokasikan untuk menyelesaikan urusan domestik. Mulai dari memasak, mencuci baju, membereskan rumah, hingga menyiap keperluan seluruh anggota keluarga. Pekerjaan tersebut harus bisa saya selesaikan sebelum jam 12.00 WIB.
Sedangkan pukul 12.00-18.00 WIB, saya membuat jadwal untuk istirahat siang, bonding dengan anak, quality time dengan diri sendiri, dan bersosialisasi. Jadi, sebelum batas waktu berakhir, sebisa mungkin daftar pekerjaan dalam blok waktu tersebut sudah diselesaikan tanpa berpatokan bahwa mencuci harus di jam 09.00, bermain bersama anak di jam 15.00.
2. Membagi tugas dengan pasangan
Untuk menjaga kesehatan mental, perlu keterlibatan pasangan dalam melakukan pekerjaan rumah. Hal ini untuk menghindari terjadinya mental load yang kerap membebani seorang ibu.Bersama pasangan bisa didiskusikan mana pekerjaan rumah yang merupakan tugas pokok istri, maba yang bisa didelegasikan, dan mana yang bisa dikerjaan bersama.
Dengan demikian, pekerjaan rumah tidak melulu harus dikerjakan oleh satu orang saja di rumah. Sehingga, ibu punya cukup waktu untuk beristirahat dan mengembangkan diri.
3. Mencari dukungan sosial dari sekitar
Mencari dukungan sosial dari keluarga, teman, atau komunitas berfungsi untuk mengurangi rasa kesepian dan meningkatkan motivasi. Keberadaan mereka membuat kita merasa tidak sendiri.Lebih dari itu, dengan lingkungan yang positif juga menjadi support system dan ajang berkolaborasi. Dengan demikian, tidak hanya meningkatkan produktivitas dan kreativitas saja, tapi juga meningkatkan keterampilan bersosialisasi.
4. Mempelajari keterampilan baru
Menjadi ibu adalah fase hidup yang baru. Banyak dari diri kita yang berubah dan menuntut perubahan. Agar tidak semakin terjebak pada kondisi di masa lalu dan bisa semakin cepat beradaptasi dengan perubahan, maka kita harus terbuka dengan hal-hal baru.Termasuk keterampilan yang mungkin saja dulu tidak pernah kita sukai atau tidak terpikir untuk mempelajarinya. Dengan mempelajari hal-hal baru, bisa menjadi ajang untuk meningkatkan kapasitas baru, siapa tau ada profesi baru pula yang bisa kita tekuni.
5. Menerapkan pola hidup sehat
Tidak bisa dipungkiri, sejak melahirkan sudah pasti mengubah kondisi fisik maupun psikis ibu. Untuk mengembalikan tubuh seperti semula itu tidak mudah. Olahraga saja tidak cukup, perlu mengubah pola hidup menjadi yang lebih sehat apalagi nutrisi anak akan bergantung pada asupan makanan ibu.Selain bermanfaat bagi kesehatan, dengan menerapkan pola hidup sehat rupanya juga baik dalam mendukung stabilitas emosi. Istirahat yang cukup, makan dengan teratur plus gizi seimbang, juga rutin berolahraga akan membuat tubuh lebih segar. Tidak mudah sakit sehingga banyak hal positif yang bisa dilakukan.
6. Memindai sampah emosi secara rutin
Salah satu hal yang sering terlupa ketika sudah menjadi ibu adalah menyapa diri sendiri, mengenali dan menerima emosi yang hadir. Jika terlalu sering mengabaikan diri, maka hal-hal negatif jadi lebih mudah menghampiri.Sesekali, tidak ada salahnya meluangkan waktu untuk memindai sampah emosi. Mengelompokkan hal-hal yang bisa memicu kemarahan kita mulai dari yang paling kecil hingga paling besar untuk lebih mudah mengatasinya.
Bisa dikatakan, ibu adalah jantung emosi di keluarga. Ibu yang bahagia, akan lebih mudah menciptakan keluarga yang bahagia. Oleh sebab itu, bagi seorang ibu perlu untuk mengupayakan kebahagiaannya sendiri.
Membuat diri bahagia bukanlah tugas orang lain, melainkan diri kita sendiri. Untuk menghadirkan kebahagiaan tersebut, ibu perlu menjaga kesehatan mentalnya. Hal inilah yang bisa diupayakan bersama keluarga dan orang-orang di sekitarnya.
Dukungan orang terdekat bagi kesehatan mental ibu adalah hal yang penting. Pun bagi diri ibu sendiri, perlu berjuang memerdekakan diri dari sampah emosi untuk kesejahteraan mental yang lebih baik. Agar bisa tetap produktif dan menjalankan peran dengan sebaik mungkin.
Posting Komentar
Posting Komentar