Pernahkah kamu merasa tak bisa lepas dari layar ponsel, tapi algoritma media sosial justru mengarahkan berita yang semakin membuat penasaran? Bahkan jika itu berita negatif sekalipun. Aku cukup sering mengalaminya.
Maksud hati hendak update kabar teman-teman, malah disajikan deretan berita yang bikin geregetan. Mulai dari kasus kekerasan di sekolah, KDRT, pelecehan seksual, perselingkuhan, hingga ketidakadilan kebijakan yang semakin menyulitkan rakyat kecil.
Meskipun tahu dampaknya tak baik, rasa penasaran itu sulit dihindari. Mati-matian mengabaikan, tapi teman juga membagikannya. Alhasil, jadi menyimak hingga berjilid-jilid. Bikin overthinking sampai kadang memunculkan anxiety tersendiri. Kalau kamu pernah mengalami hal serupa, selamat datang di fenomena doomscrolling.
Apa Itu Doomscrolling?
Doomscrolling adalah kebiasaan terus-menerus membaca berita negatif atau menakutkan secara obsesif, meskipun kita sadar bahwa itu bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental. Fenomena ini semakin umum sejak pandemi COVID-19, ketika orang-orang mencari informasi terbaru tentang krisis global tetapi malah terjebak dalam lingkaran berita yang membuat stres.Sebuah studi yang diterbitkan dalam Computers in Human Behavior Reports pada Agustus 2024, doomscrolling dapat memicu tingkat kecemasan dan kepanikan yang lebih tinggi, apalagi saat menghadapi keterbatasan dan ketidakpastian dalam hidup. Penelitian lain yang diterbitkan dalam Computers in Human Behavior pada April 2024 menemukan bahwa kebiasaan doomscrolling di tempat kerja dapat menurunkan keterlibatan seseorang terhadap tugas profesionalnya.
Selaras dengan penelitian tersebut, melansir dari laman Harvard Health Publishing, perilaku ini dapat meningkatkan kecemasan dan depresi. Sementara studi dari Flinders University menemukan bahwa doomscrolling dapat menyebabkan perasaan curiga, ketidakpercayaan, dan kehilangan makna hidup. Bahkan, gejalanya mirip dengan PTSD, meskipun kita tidak mengalami peristiwa tersebut secara langsung.
Kenapa Bisa Terjebak dalam Doomscrolling?
Ibarat mencari kepastian di tengah ketidakpastian, kita terjebak dalam siklus informasi yang memperburuk kondisi mental. Paparan terus-menerus terhadap konten negatif pun semakin membuat kita penasaran hingga merasa dunia ini tempat yang menakutkan. Secara psikologis, ada beberapa alasan mengapa kita sulit berhenti membaca berita buruk:Respons Evolusi Otak
Otak manusia berevolusi untuk lebih memperhatikan ancaman demi bertahan hidup. Jadi, ketika kita melihat berita negatif, otak kita menganggapnya sebagai sesuatu yang penting untuk diproses lebih lanjut. Ini berakar pada sistem fight or flight yang membuat kita terus mencari informasi agar bisa menghadapi potensi ancaman.Efek Algoritma Media Sosial
Media sosial dirancang untuk mempertahankan perhatian kita selama mungkin. Jika kita pernah membaca satu berita negatif, algoritma akan menyajikan lebih banyak konten serupa karena menganggap itu sebagai minat kita. Platform seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan TikTok menggunakan sistem rekomendasi berbasis engagement, yang berarti semakin lama kita berinteraksi dengan konten tertentu, semakin banyak konten serupa yang akan muncul di feed kita.FOMO (Fear of Missing Out)
Kita sering merasa takut ketinggalan tren dan informasi penting. Rasa penasaran membuat kita terus menggulir layar, mencari tahu lebih banyak detail tentang berita yang sedang viral. Fenomena ini juga didukung oleh media yang sering memberikan berita secara bertahap, sehingga kita merasa perlu terus mengikuti perkembangannya.Rasa Tidak Berdaya dan Overthinking
Ketika melihat berita buruk, kita merasa perlu mencari lebih banyak informasi untuk memahami situasi. Tapi ironisnya, semakin banyak kita tahu, semakin kita merasa tidak berdaya. Doomscrolling dapat menciptakan lingkaran setan yang membuat kita terus-menerus mencari informasi tanpa mendapatkan solusi nyata.Bagaimana Cara Menghentikan Doomscrolling?
Terlalu banyak membaca berita negatif juga berpotensi meningkatkan hormon stres seperti kortisol, membuat kita lebih mudah cemas, mengalami gangguan tidur, hingga depresi dan putus asa. Ini bukan sekadar kebiasaan buruk, tapi fenomena psikologis yang nyata.Semakin banyak kita terpapar berita negatif, semakin sulit bagi otak untuk beralih kembali ke mode produktif. Jika dibiarkan berlarut-larut, bukan hanya kecemasan yang meningkat, tetapi juga performa kerja dan kualitas hidup pun ikut menurun. Ada beberapa cara untuk mengurangi kebiasaan ini:
Tetapkan Batasan Waktu Konsumsi Berita
Gunakan timer atau aplikasi pengatur waktu untuk membatasi berapa lama durasi membaca berita dalam sehari. Para ahli merekomendasikan maksimal 30 menit per hari agar kita tetap mendapatkan informasi tanpa kecanduan.Gunakan Aplikasi Pemblokir Konten Negatif
Sekarang ini sudah banyak dikembangkan aplikasi untuk memblokir situs web yang mengandung konten negatif, misalnya pornografi, perjudian, fitnah, penipuan, dan kekerasan. Beberapa contohnya antara lain StayFocusd, Freedom, dan BlockSite yang bisa kita manfaatkan untuk membatasi akses ke media sosial atau situs berita tertentu dalam jangka waktu tertentu.Gantilah Doomscrolling dengan Aktivitas Positif
Saat merasa ingin scrolling, coba alihkan ke kegiatan lain seperti membaca buku, mendengarkan musik, atau berjalan-jalan di luar ruangan. Aktivitas sederhana ini bisa mengurangi ketergantungan pada media sosial.Latih Mindfulness dan Self-Awareness
Sebelum membaca berita, tanyakan pada diri sendiri: Apakah berita tersebut benar-benar perlu dibaca? Apa manfaatnya buat kita? Dengan cara ini, kita bisa lebih sadar dalam mengonsumsi informasi dan menghindari berita yang hanya menambah kecemasan.Kurasi Sumber Informasi dengan Bijak
Pilih sumber berita yang terpercaya dan tidak bersifat sensasional. Hindari situs yang terlalu sering memanfaatkan emosi pembaca dengan judul yang clickbait atau headline yang mengundang kecemasan.Ikuti Akun Media Sosial yang Positif
Perkembangan social media yang semakin masif juga melahirkan banyak konten yang berkualitas. Daripada hanya membaca berita negatif, ikuti juga akun yang menawarkan solusi atau cerita inspiratif agar lebih memotivasi dan mengisi jiwa kita.Berlatih Digital Minimalism
Perkembangan teknologi perlu diimbangi dengan kemampuan kita menggunakannya dengan tepat guna. Salah satu yang bisa diterapkan agar berteknologi tidak menghadirkan banyak distraksi adalah dengan menerapkan prinsip digital minimalism, mengonsumsi konten yang benar-benar bermanfaat dan mengurangi paparan terhadap informasi yang tidak relevan.Kesimpulan
Doomscrolling adalah fenomena yang nyata dan bisa berdampak buruk pada kesehatan mental kita. Kesadaran akan kebiasaan yang berpotensi menyita waktu kita adalah langkah pertama untuk mengatasinya. Dengan membatasi konsumsi berita, mengubah pola pikir, dan memilih sumber informasi dengan bijak, kita bisa tetap terinformasi tanpa harus tenggelam dalam kecemasan.Jadi, mulai sekarang, kita bisa mencoba untuk lebih selektif dalam membaca berita. Karena pada akhirnya, kita perlu menjaga kesehatan mental kita sendiri agar bisa terus beradaptasi dengan hidup yang serba dinamis.
Referensi:
- Deering, Shelby. (2023).How 'Doomscrolling' Impacts Your Mental Health—and How to Stop. Diakses pada 1 Februari 2025 darhttps://www.verywellmind.com/what-is-doomscrolling-5088882i
- Ellis, Mary Ellen. (2024). What Is Doomscrolling? Why It Happens and How It Affects Your Mental Health. Diakses pada 1 Februari 2025 dari https://www.constellationbehavioralhealth.com/blog/what-is-doomscrolling-why-it-happens-and-how-it-affects-your-mental-health/
- Johnston, Amber. (2024). The Horrors of Doomscrolling & its Impact on Mental Health. Diakses pada 1 Februari 2025 dari https://www.ucdenver.edu/student/stories/library/healthy-happy-life/the-horrors-of-doomscrolling-its-impact-on-mental-health
Posting Komentar
Posting Komentar