Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh atau May Day. Sebuah peringatan yang menyoroti pentingnya peran para pekerja dalam membangun peradaban, ekonomi, dan sosial.
Namun, di balik gegap gempita perayaan tersebut, ada satu kelompok pekerja yang sering luput dari perhatian. Mereka bekerja sepanjang waktu, tujuh hari dalam seminggu, tanpa cuti, tanpa upah tetap, dan seringkali tanpa pengakuan.
Profesi itu bernama Ibu Rumah Tangga. Memang, pekerjaan rumah tangga belum diakui sebagai pekerjaan ekonomi yang sah. Dengan demikian, apakah para IRT ini tidak berhak menikmati dan merayakan Hari Buruh?
Ibu Rumah Tangga: Pekerja Tak Terlihat yang Terus Bekerja
Sebagai seorang ibu rumah tangga sekaligus freelancer, saya merasakan langsung bagaimana rumitnya menyeimbangkan dua peran yang sama-sama menuntut energi, perhatian, dan komitmen. Saat mayoritas pekerja menikmati libur di Hari Buruh, saya justru harus membagi waktu untuk memenuhi deadline sebagai seorang content contributor tanpa melupakan pekerjaan rumah.Tidak jarang saya sempat berpikir untuk berhenti bekerja, fokus pada anak saja. Tapi anehnya, ketika tidak bekerja, saya malah merasa kosong dan lebih mudah stres. Dari situlah saya sadar, bahwa bekerja juga bagian dari aktualisasi diri dan penting untuk menjaga kesehatan mental.
Saya pun yakin, banyak ibu yang bekerja di ranah publik terkadang punya dilema yang sama. Ingin di rumah saja, namun ada banyak pertimbangan yang mengharuskan tetap berkerja. Ketika pulang ke rumah juga tetap menjalankan rutinitas domestik. Mulai dari menyiapkan makanan, mendampingi anak belajar, membereskan rumah, hingga belanja mingguan. Jadi, tidak ada istilah libur bagi para ibu.
Selama ini, pekerjaan rumah tangga sering dipandang undervalued, kurang sistematis, dan tidak dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Hal ini terjadi karena pekerjaan tersebut dilakukan di ranah privat, sehingga tidak dianggap sebagai tempat kerja formal.
Beberapa tahun belakangan, International Labour Organization (ILO) telah mendorong adanya standar perlindungan dan pengakuan formal terhadap pekerjaan rumah tangga. Termasuk upaya mendorong pengakuan hukum dan perlindungan sosial yang layak bagi para pekerja domestik.
Sementara itu, Mom Salary Survey tahun 2022 memperkirakan bahwa nilai pekerjaan ibu rumah tangga bisa setara dengan gaji lebih dari USD 184.000 per tahun. Perhitungan ini berdasarkan semua pekerjaan yang dilakukan ibu rumah tangga dihitung menggunakan harga pasar untuk setiap peran. Mulai dari juru masak, guru, manajer keuangan, perawat, housekeeper, dan lain sebagianya.
Survei tersebut melibatkan lebih dari 19.000 ibu dan menghitung waktu kerja rata-rata mereka yang mencapai 106 jam per minggu, dengan lebih dari 20 peran berbeda yang dijalankan setiap harinya. Jika memperhitungkan bonus, lembur, dan intensitas pekerjaan selama pandemi, nilai tersebut bahkan bisa melebihi USD 200.000 per tahun.
Profesi ini memang tidak ada sistem penggajian yang sepadan dengan setiap perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan. Sayangnya, justru menciptakan ketimpangan pengakuan yang berdampak pada kesehatan mental para ibu rumah tangga.
Penelitian yang dimuat dalam jurnal The Lancet Public Health (2022) menyebutkan bahwa beban kerja domestik yang berlebih berkontribusi pada peningkatan risiko depresi pada perempuan. Belum lagi, fenomena double burden atau beban ganda pada perempuan, yang menggabungkan pekerjaan domestik dan pekerjaan di luar rumah, secara psikologis berdampak negatif dan meningkatkan risiko stres hingga depresi.
Pekerjaan Tiada Usai, Begitu Pula dengan Beban Mental Ibu
Selain pengakuan, salah satu yang menjadi penyebab para ibu mudah terganggu kesehatan mentalnya adalah perasaan dan pikirannya yang tidak bisa tenang jika pekerjaan rumah maupun tugas-tugas lainnya belum terselesaikan. Bluma Zeigarnik, seorang psikolog asal Rusia memperkenalkan konsep yang relevan dengan kondisi tersebut dengan Zeigarnik Effect, yakni kecenderungan otak manusia untuk lebih mengingat tugas-tugas yang belum selesai daripada yang sudah diselesaikan.
Bagi ibu rumah tangga, fenomena ini menjelaskan mengapa mereka merasa seolah-olah tidak pernah benar-benar berhenti bekerja. Selalu ada cucian yang masih menggunung, tumpukan piring kotor, anak minta diperhatikan, atau urusan rumah lainnya yang tak kunjung habis. Pikiran menjadi penuh, bahkan saat tubuh mencoba istirahat.
Ketegangan psikis dari tugas-tugas yang belum selesai dapat menjadi sumber frustrasi dan menguras energi dan emosional. Berikut ini beberapa dampak negatif dari efek Zeigarnik, terutama pada ibu rumah tangga:
1. Perasaan Bersalah Berkepanjangan
Karena tugas-tugas domestik nyaris tidak pernah benar-benar selesai, ibu rumah tangga kerap merasa bersalah saat mengambil waktu untuk istirahat atau menikmati waktu pribadi. Pikirannya penuh dengan pekerjaan yang terus menghantui, sehingga istirahat pun terasa tidak tenang.2. Kecemasan Kronis
Zeigarnik Effect membuat otak terus mengingat tugas yang belum tuntas. Bagi ibu rumah tangga, hal ini menciptakan semacam 'to-do list' mental yang terus berputar tanpa henti. Akibatnya, muncul rasa cemas bahkan ketika sedang tidak mengerjakan apa pun.3. Berkurangnya Kualitas Tidur
Banyak ibu merasa tidak bisa tidur nyenyak karena pikiran mereka terus bekerja, memikirkan hal-hal yang belum dilakukan hari ini atau yang harus dilakukan besok. Efek ini secara langsung mengganggu kualitas tidur dan berdampak negatif pada kesehatan jangka panjang.4. Kesulitan Menikmati Momen Saat Ini
Efek ini juga membuat ibu kesulitan menikmati waktu bersama anak atau pasangan karena pikirannya terpusat pada tugas-tugas yang belum selesai. Sehingga menciptakan jarak emosional dalam hubungan interpersonal.5. Burnout Emosional dan Fisik
Ketidakmampuan untuk menghalau pikiran dari pekerjaan membuat energi mental dan fisik ibu rumah tangga terus terkuras. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan kelelahan parah yang berdampak pada kesehatan psikologis dan relasi sosial.Hal-hal tersebut yang sering kali menjadi penyebab para ibu rumah tangga merasa burnout meskipun mereka hanya di rumah. Namun, dengan pengelolaan yang tepat, efek ini juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan motivasi dan produktivitas.
Rahasia Ketangguhan Para Ibu
Ibu rumah tangga yang sering mengalami kelelahan mental dan fisik akibat beban mental yang tinggi dan Zeigarnik Effect sebenarnya sedang mengalami pertempuran di tingkat seluler. Mitokondria mereka bekerja keras untuk memulihkan keseimbangan energi, meskipun dalam kondisi yang kurang ideal.
Dalam unggahan instagram Riza Putranto, PhD, DEA selaku Molecular Biologist & Science Communicator, mengutip hasil penelitian dari Neural Regeneration Research (2023) yang mengungkapkan fakta menakjubkan bahwa tubuh manusia mengandung sekitar 93 ribu triliun mitokondria.
Organel kecil ini memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa. Ketika tubuh dilanda stres, mitokondria berusaha untuk mengefisienkan produksi energi, melakukan proses fisi (pembelahan) dan fusi (penggabungan) untuk mengoptimalkan fungsinya.
Di sisi lain, perempuan–termasuk ibu rumah tangga, memiliki keunikan genetik berupa dua kromosom X dalam setiap sel tubuh mereka. Berbeda dengan laki-laki yang hanya memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y, keberadaan dua kromosom X ini memberikan keuntungan biologis tersendiri.
Jurnal of Experimental Medicine (2022) melaporkan bahwa kromosom X membawa lebih dari 1.100 gen yang terkait dengan sistem imun. Lebih menakjubkan lagi, penelitian di Nature (2017) memperlihatkan jika dua kromosom X pada perempuan dapat bergantian mengatur sistem imun, memberikan fleksibilitas dan ketahanan yang lebih tinggi.
Hal ini menjelaskan mengapa perempuan, termasuk ibu rumah tangga yang mengalami beban mental tinggi, tetap mampu mengerjakan berbagai tugas meskipun sedang sakit. Kapasitas pemulihan yang lebih cepat ini merupakan hasil dari adaptasi biologis yang telah berevolusi selama ribuan tahun.
Ini sejalan dengan observasi keseharian bahwa perempuan memiliki kapasitas multitasking yang lebih tinggi dan mampu menahan sakit maupun tekanan psikologis lebih lama. Namun, ini tidak berarti bahwa perempuan harus dibebani lebih banyak tanpa dukungan. Sebab, ketangguhan bukan berarti tidak rentan.
Jadi, Apakah Hari Buruh Berlaku untuk Ibu Rumah Tangga?
Jika kita maknai Hari Buruh sebagai hari penghargaan bagi mereka yang bekerja keras membangun dunia, maka seharusnya ibu rumah tangga layak menikmati Hari Buruh. Meski tidak memiliki slip gaji, tidak terdaftar sebagai karyawan, dan tidak terikat kontrak, pekerjaan domestik yang mereka lakukan, menopang kesejahteraan keluarga dan stabilitas sosial secara keseluruhan.Sudah saatnya kita berhenti menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai kewajiban natural yang tidak perlu dihargai. Langkah kecil seperti pembagian tugas yang adil dalam keluarga, meminimalisir stigmatisasi terhadap kerja ibu rumah tangga, serta akses terhadap layanan kesehatan mental bisa menjadi perubahan besar.
Bahkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs), poin kelima tentang kesetaraan gender menggarisbawahi pentingnya pembagian kerja domestik yang adil antara perempuan dan laki-laki. Dunia kerja juga sudah mulai mengadopsi pendekatan kerja yang lebih inklusif bagi perempuan, termasuk opsi kerja fleksibel dan kebijakan ramah keluarga.
Menghargai Tanpa Menunggu Hari Buruh
Hari Buruh bisa menjadi momentum untuk memperluas cakrawala kita dalam mendefinisikan siapa yang disebut pekerja. Ibu rumah tangga adalah pekerja, pekerja penuh waktu, bahkan pekerja multi-disiplin tanpa pelatihan formal. Mereka layak mendapatkan penghargaan, bukan hanya setiap 1 Mei, tapi setiap hari.Sebagai ibu dan freelancer, saya belajar bahwa mengakui beban yang kita pikul adalah langkah awal untuk merawat diri. Kita bisa kuat, tapi kita juga berhak istirahat. Kita bisa mengabdi, tapi juga layak dihargai.
Mari terus suarakan bahwa kerja domestik adalah kerja nyata. Jangan tunggu Hari Buruh untuk menyuarakan dan merayakan perjuangan seorang perempuan.
Referensi:
- ABC News. (2022). "Women spend about double the amount of time on chores than men, study finds." https://abcnews.go.com/GMA/Living/women-spend-double-amount-time-chores-men-study/story?id=91032694.
- Davies, Adrian M., and Alan G. Holt. “Modeling mitochondria, where are the numbers?.” Neural Regeneration Research19.7 (2024): 1435-1436.
- Jiwrajka, Nikhil, and Montserrat C. Anguera. “The X in seX-biased immunity and autoimmune rheumatic disease.” Journal of Experimental Medicine 219.6 (2022): e20211487.
- Malay Mail. (2022). What is the Zeigarnik effect and how can it lead to burnout? https://www.malaymail.com/news/life/2022/06/08/what-is-the-zeigarnik-effect-and-how-can-it-lead-to-burnout/11176.
- Picard, Martin, and Bruce S. McEwen. “Psychological stress and mitochondria: a systematic review.” Biopsychosocial Science and Medicine 80.2 (2018): 141-153.
Posting Komentar
Posting Komentar