header blog terbaru

Perkembangan Teknologi AI dan Dampaknya Bagi Perubahan Iklim

AI dan dampaknya bagi perubahan iklim
Pada awal Mei 2023, dunia dihebohkan dengan berita tentang pengunduran diri Geoffrey Hinton. Bapak Kecerdasan Buatan ini mengumumkan keluar dari pekerjaannya di Google. Padahal riset terobosan Hinton tentang neural network dan deep learning membuka jalan untuk sistem-sistem AI masa kini seperti Chat GPT. Temuannya tersebut memungkinkan AI untuk belajar dari pengalaman layaknya manusia.

Beliau mengaku menyesal telah membuat projek ini, sekaligus mengkhawatirkan dampak perkembangan AI yang bahkan di luar tanggung jawab manusia. Mungkin dulu banyak orang berpikir bahwa ancaman AI menjadi robot pemusnah massal bisa jadi 30-50 tahun lagi. Namun bisa jadi hal itu tidak lama lagi.

Sebenarnya bulan Maret 2023 lalu ada surat terbuka yang ditandatangani oleh puluhan orang di bidang AI meminta penangguhan perkembangan AI, agar disusun terlebih dulu langkah-langkah keamanan untuk memitigasi dampak AI. Beberapa orang yang menandatangani surat ini antara lain Elon Musk, Yoshua Bengio, Dr. Hinton, Yann LeCun dan lain sebagainya. Tiga yang disebutkan terakhir adalah pemenang Turing Award 2018 atas bidang deep learning.

Tanpa kita sadari, Artificial Intelligence yang selama ini memudahkan manusia lewat berbagai ragamnya mulai dari Chat GPT untuk teman diskusi, AI voice generator untuk membuat audio, Tome untuk membuat paparan dan lain sebagainya ternyata meninggalkan jejak karbon yang sangat tinggi. Ada fakta yang sering terlewat ketika AI kita benturkan dengan isu perubahan iklim.

Perusahaan teknologi raksasa pembuat chatbot AI menggunakan komputasi awan (cloud computing) yang terdiri dari ribuan chip dalam setiap servernya di seluruh dunia. Penggunaan komputasi awan ini membutuhkan daya listrik yang sangat besar. Dukungan daya listrik ternyata lebih besar daripada untuk penggunaan 100 rumah tangga di AS per tahun. Tentunya potensi peningkatan emisi karbon pun menjadi sangat tinggi.

Menurut temuan Dhar P dalam jurnalnya yang berjudul impact of artificial intelligence menyatakan bahwa teknologi AI membutuhkan daya komputasi yang besar dengan konsekuensi menghasilkan jejak karbon yang besar juga. Emisi karbon yang diproduksi ketika mentraining AI model diperkirakan setara dengan emisi untuk 75 penerbangan pulang pergi New York-Beijing.

Salah satu yang belakang ini cukup populer digunakan adalah ChatGPT. Melansir dari Towards Data Science, diperkirakan bahwa ChatGPT menghasilkan sekitar 23,04 kgCO2e emisi karbon harian, dengan asumsi 1,2% dari 1 juta pengguna mengirimkan satu pesan atau permintaan perhari. Semakin besar permintaan, semakin besar pula emisi karbon yang dihasilkan.

Perkiraan tersebut memang masih perlu ditelaah lebih lanjut. Tapi, bisa cukup dijadikan pengingat bahwa bagaimana kita menggunakan AI di kehidupan sehari-hari akan membawa dampak perubahan iklim. Dari situlah muncul isu tentang red AI dan green AI.

red AI vs green AI
Di tengah maraknya perkembangan dan kampanye penggunaan AI, kita dihadapkan pada cuaca ekstrim yang lebih sering terjadi. Emisi karbon yang terus diproduksi oleh manusia lewat aktivitas rumah tangga , transportasi, rumah tangga, peternakan ditambah lagi penggunaan AI membuat bumi semakin panas. Mencairkan es-es di kutub utara, membakar hutan-hutan tropis di khatulistiwa, mengguyur daratan di berbagai benua dengan hujan lebat yang membuat banjir hingga tanah longsor serta bencana-bencana lain di dunia.

Konferensi Tingkat Tinggi Iklim atau Conference of The Parties (COP) yang diadakan setiap tahun bertujuan untuk memperkuat kembali komitmen negara-negara di dunia pada isu perubahan iklim. COP 27 yang terakhir dilaksanakan pada November 2022 lalu di Mesir terkesan mengecewakan berbagai pihak karena tidak ada progres signifikan dalam penanganan iklim. Namun setidaknya dari pertemuan ini sudah ada kesepakatan pendanaan bersama untuk kerugian dan kerusakan atas perubahan iklim.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam COP23 tahun 2018 mengeluarkan rilis yang cukup mengejutkan. IPCC menyatakan bahwa sejak tahun 1850-an atau sebelum revolusi industri sampai hari ini suhu bumi sudah meningkat sebesar 1,09 derajat celcius. Jika tidak ditangani dengan serius maka di tahun 2030, bumi akan mengalami krisis ekologis serius.

David Wallace-Well dalam bukunya Bumi Yang Tak Dapat Dihuni, memberikan penjelasan sederhana tapi cukup mengerikan ketika membayangkan kenaikan suhu setiap derajat di permukaan bumi. Kenaikan 1 derajat C dapat mencairkan es di kutub dan membahayakan eksistensi berbagai macam hewan dan tumbuhan yang dikonsumsi manusia.

Selanjutnya kenaikan 2 derajat C melenyapkan 40% hutan hujan, yang berakibat pada menipisnya cadangan makanan hewan. Masih belum kalah mengerikan jika suhunya naik lagi menjadi 3 derajat C yang berdampak pada pohon tidak sanggup lagi menahan karbondioksida dan kota besar dipenuhi polusi.

Kenaikan 4 derajat C berikutnya, tingkat kebakaran hutan pada musim kemarau semakin meningkat, yang mengakibatkan hutan hujan di bumi berubah menjadi padang pasir. Lebih mengerikan lagi adalah kenaikan 5 derajat C menjadikan kematian jutaan manusia, hewan dan tumbuhan serta peningkatan kadar racun di atmosfer sehingga pada kenaikan 6 derajat C bumi sudah tidak layak dihuni.

data emisi carbon

Keadaan tersebut bisa menjadi lebih parah jika kita tidak memperhatikan aktivitas sehari-hari, termasuk dalam memanfaatkan AI. Memang, keberadaan AI adalah untuk memudahkan kerja manusia. Tapi, bukan berarti kita bisa seenaknya dalam menggunakannya.

Peter Ward menyatakan bahwa kepunahan massal di planet kita, disebabkan oleh gas rumah kaca. Setidaknya ada 9 isu penting dalam perubahan iklim Panas, Kelaparan, Wilayah Tenggelam, Kebakaran Lahan, Bencana dan lain-lain, Kekurangan Air, Udara yang tidak bisa dihirup, Wabah akibat pemanasan, Ekonomi Ambruk, Konflik akibat iklim. Tiap derajat celcius pemanasan mengurangi pertumbuhan ekonomi rata-rata satu persen. Satu persen merupakan angka yang besar dalam pertumbuhan ekonomi.

Studi Bappenas menyatakan bahwa lima tahun terakhir merupakan suhu terpanas sepanjang sejarah sejak 1850. Tingkat kenaikan permukaan laut 3 kali lipat dibanding dengan 1901-1971. Dalam konteks Indonesia, negara kita akan berpotensi mengalami kerugian terhadap PDB sebesar 115 Triliun rupiah pada tahun 2024. Jika ada intervensi kebijakan penanganan perubahan iklim dapat ditekan menjadi 57 triliun rupiah.

Berhadapan dengan perubahan iklim yang semakin tak menentu ini pula, yang bisa dilakukan adalah mitigasi sekaligus adaptasi yang dilakukan secara masif untuk mencegah dampak resesi. Bersama Greeneration Foundation, sebagai LSM lingkungan yang berfokus pada isu konsumsi dan produksi di Indonesia, kita bisa berkolaborasi dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Salah satunya dengan donasi untuk restorasi lingkungan.

Bencana iklim dan perkembangan teknologi AI adalah dua hal yang tidak bisa kita hindari. Untuk itulah kita perlu lebih bijak dalam menyikapi keduanya. Melalui aksi sederhana namun dilakukan bersama, akan terasa lebih bermakna. Sebab lingkungan menjadi tanggung jawab kita semua.



Referensi:
Heikkila, M. 15 November 2022. We’re getting a better idea of AI’s carbon footprint. Diakses pada 21 Mei 2023 dari https://www.technologyreview.com/2022/11/14/1063192/were-getting-a-better-idea-of-ais-true-carbon-footprint/

Irianto, Jusuf. 27 April 2023. Jejak Emisi Karbon Kecerdasan Buatan. Diakses pada 21 Mei 2023 dari https://www.republika.id/posts/40091/jejak-emisi-karbon-kecerdasan-buatan

Ludvigsen, KGA. 21 Desember 2022. The Carbon Footprint of ChatGPT. Diakses pada 21 Mei 2023 dari https://towardsdatascience.com/the-carbon-footprint-of-chatgpt-66932314627d

Related Posts

Posting Komentar