header blog terbaru

Dari Polusi Hingga Perubahan Iklim, Tantangan Manusia Menjaga Bumi Agar Tetap Lestari

Posting Komentar
polusi dan perubahan iklim
Barangkali, kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya menerka hingga memahami seberapa jauh kehidupan di Bumi berubah. Namun, satu hal yang pasti dan tidak bisa kita pungkiri, selimut polusi membuat Bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim.

Dalam dasawarsa belakangan ini, pembahasan tentang perubahan iklim dan kelestarian lingkungan termasuk juga beragam polusi, memang begitu gencarnya dilakukan. Bukan lagi sebagai topik yang khusus dalam hal ilmiah saja. Melainkan mulai disuarakan oleh lapisan masyarakat melalui individu maupun komunitas, hingga terwujud dalam berbagai karya berupa lukisan, buku, lagu, maupun film.

Sebut saja lagu Love Song To The Earth kolaborasi beberapa musisi dunia diantaranya Paul McCartney, Jon Bon Jovi, Natasha Bedingfield, Sheryl Crow hingga Fergie yang berisi ajakan menjaga Bumi. Ada pula karya anak negeri, sebuah lagu dari Laleilmanino yang menggandeng penggiat dunia seni hiburan di Indonesia yaitu Chicco Jerikho, Sheila Dara, dan HIVI! melalui lagu Dengar Alam Bernyanyi yang secara tegas mengajak untuk hajar #SelimutPolusi.

Belum lagi deretan judul film yang tentunya bisa dinikmati oleh berbagai kalangan baik itu diangkat dari kisah nyata, hasil riset para ilmuwan, hingga prediksi kejadian di masa depan. Karya-karya tersebut selain sebagai bentuk edukasi, juga menjadi bentuk keprihatinan dan kepedulian terhadap perubahan iklim dan kondisi lingkungan oleh mayoritas penduduk di belahan Bumi manapun.

Polusi dan Perubahan Iklim, Dari Lumrah Hingga Pasrah

macam-macam polusi

Mengurai persoalan penyebab bencana iklim memang tidak akan ada habisnya. Tanpa disadari, aktivitas harian yang kita lakukan pun menjadi penyumbang pemanasan global melalui pencemaran yang kadang kita pikir sederhana namun punya dampak yang luar biasa bagi lingkungan dan kehidupan orang banyak.

Polusi menjadi penyebab perubahan iklim yang paling sering kita jumpai. Mulai dari asap kendaraan yang kita gunakan yang menyebabkan polusi udara, limbah cair dari rumah tangga yang mempengaruhi kualitas air di sungai, riuhnya konser musik yang kita tonton menjadi polusi suara, penambangan liar yang membuat lebih banyak terjadinya pencemaran tanah, hingga instalasi penerangan rumah dan jalan yang tidak tepat menyebabkan polusi cahaya.

Menilik pada sejarah hidup umat manusia yang semula berburu dan berpindah tempat untuk bertahan hidup, kemudian dilanjutkan dengan periode bertani dan tinggal menetap, tidak sedikit kondisi Bumi yang berubah. Manusia benar-benar bergantung pada hasil Bumi, terutama hutan.

Pada abad ke-18, mulailah peradaban baru yang kita kenal dengan periode industri. Melalui revolusi industri, terjadi perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi yang berdampak bagi kelangsungan hidup manusia baik itu dari sisi sosial, ekonomi, politik, hingga dan budaya.

Perubahan tersebut meski atas nama kesejahteraan manusia, namun juga menurunkan kualitas lingkungan sekitarnya. Baik itu air, udara, tanah, hingga keanekaragaman hayati. Pada periode berikutnya, yaitu abad ke-20 yang membawa manusia pada zaman ilmu pengetahuan, perkembangan dunia teknologi komunikasi dan informasi semakin pesat. Tak luput juga menghasilkan limbah baru, salah satunya limbah elektronik.

Di setiap periodenya, pola pikir dan cara manusia bertahan hidup berbeda. Yang semula bertarung untuk bertahan hidup dan mendapat makanan, kini bagaimana bisa mendapatkan keuntungan lebih. Terkadang, sampai tidak mempedulikan kondisi alam.

Padahal, alam telah begitu baik menyediakan segala bentuk kebutuhan manusia. Pada akhirnya, demi mendapatkan kesejahteraan hidup polusi yang terjadi pun dianggap lumrah karena memang dalam hidupnya tak akan pernah bisa benar-benar bisa lepas dari yang namanya proses mengolah hasil alam dan melepas sisa pembuangannya ke alam.

Menghadapi perubahan iklim pun hanya bisa pasrah sambil terus beradaptasi. Beruntungnya, di era ilmu pengetahuan ini sudah banyak orang yang lebih terbuka dengan persoalan-persoalan iklim. Meski sudah pasti tidak bisa menghindari dampak negatifnya di masa mendatang, paling tidak upaya untuk memperlambatkan dengan terus merawat Bumi masih bisa dilakukan.

Dampak Perubahan Iklim Bagi Keberlangsungan Hidup Umat Manusia

Keberadaan gas rumah kaca di alam, pada dasarnya untuk menjaga suhu Bumi tetap stabil. Namun, apabila konsentrasinya semakin meningkat akan membuat lapisan atmosfer semakin tebal dan menyebabkan jumlah panas Bumi terperangkap lebih banyak pula. Inilah yang menyebabkan pemanasan global.

Peningkatan suhu yang terperangkap ini akan mengubah pola cuaca dan mengganggu keseimbangan alam yang tentunya akan berdampak buruk bagi manusia. Beberapa hal yang timbul akibat dari pemanasan global adalah sebagai berikut:

Meningkatnya Suhu Permukaan Secara Global

Suhu di permukaan Bumi semakin meningkat, bahkan diprediksi melampaui batas aman kenaikan suhu rata-rata tahunan, yaitu mencapai kenaikan 1,5 derajat Celcius hingga 5 tahun ke depan. Dibandingkan dengan sepuluh tahun belakangan yang pernah mencapai kenaikan 1,02 derajat Celcius.

kenaikan suhu permukaan bumi
Hal ini disebabkan polusi karbon dioksida dan gas rumah kaca ke atmosfer akibat aktivitas manusia juga semakin tinggi. Dampaknya pun sudah banyak diteliti dan disampaikan dari para ahli ke masyarakat luas, hingga negara-negara di dunia sepakat untuk mengurangi emisi karbon.

Boleh dibilang, kenaikan suhu permukaan inilah yang menjadi akar dari dampak lain. Seperti menurunnya kadar es di Laut Arktika, naiknya level permukaan laut, memicu kekeringan dan kebakaran hutan, pergantian musim menjadi tidak teratur, menurunkan kualitas tumbuhan dan hasil pertanian, sekaligus mengacaukan pola migrasi satwa yang berefek buruk bagi kehidupan mereka.

Kelangkaan Bahan Pangan

Dampak nyata yang sangat dirasakan oleh manusia dari perubahan iklim adalah ancaman pada sektor pangan. Kenaikan suhu bumi menyebabkan cuaca ekstrem, yang mempengaruhi proses tanam, masa panen, dan kualitas hasil panen.

Kelangkaan pangan mengantarkan pada bencana iklim yang memicu krisis sosial ekologis. Terlebih lagi bagi negara-negara berpenghasilan rendah yang akan paling merasakan dampaknya.

Sebagai negara berkembang, Indonesia tetap harus waspada mengingat mayoritas petani di negara kita sudah berusia tua. Belum lagi sistem distribusi hasil panen yang belum merata dan justru tidak sedikit menyebabkan food waste. Hal tersebut menjadi PR bersama agar ketahanan pangan nasional tetap terjaga dalam menghadapi krisis iklim

Meningkatkan Ancaman Kesehatan

penyakit karena bencana iklim
Kenaikkan suhu secara ekstrim dan meningkatkan intensitas gelombang panas, juga menimbulkan serangkaian masalah kesehatan. Baik berdampak langsung maupun tidak langsung, frekuensi kejadian beberapa penyakit semakin tinggi seperti penyakit yang paling banyak ditemui yaitu demam berdarah, malaria, dan diare.

Dalam buku Bumi Yang Tak Dapat Dihuni, David Wallace-Wells menuliskan bahwa Bank Dunia memperkirakan pada tahun 2030 sejumlah 3,6 miliar orang akan berhadapan dengan penyakit malaria. 100 juta diantaranya diakibatkan langsung oleh perubahan iklim.

Belum lagi dampak perubahan iklim terhadap kualitas udara di lingkungan. Seperti gas buang kendaraan yang bersifat karsinogenik dapat memicu terjadinya kanker. Paparan polusi udara juga menyebabkan sejumlah penyakit gangguan pernafasan, mengacaukan peredaran oksigen dalam darah, hingga banyak menyebabkan gangguan kesehatan pada anak salah satunya stunting.

Memperparah Tingkat Kemiskinan

Kehancuran ekonomi berbagai negara akibat perubahan iklim, dimulai dari meningkatnya angka kemiskinan. Kelompok miskin menjadi yang paling rentan terdampak perubahan iklim. Mereka tidak punya banyak pilihan dan juga aset untuk keluar dari keterpurukan akibat iklim yang semakin ekstrim.

Terdapat tiga pendekatan mengapa kelompok miskin menjadi yang paling rentan. Pertama, kondisi mereka yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Kedua, kegagalan penanggulangan kemiskinan karena tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim. Ketiga, tumpang tindihnya konstelasi sosial-politik dalam mengambil kebijakan tentang perubahan iklim semakin memperburuk kondisi kemiskinan.

Faktor bencana alam, krisis kesehatan,kerusakan lingkungan, menurunnya hasil panen dan tangkapan ikan, sudah pasti berdampak pada kondisi ekonomi. Kondisi ini lebih meningkatkan resiko kerentanan bagi para petani dan nelayan terutama yang tinggal di daerah pinggiran.

Keberadaan Hutan, Untuk Melindungi dan Memperbaiki

Membicarakan dampak perubahan iklim memang tidak ada habisnya. Namun kita selalu punya harapan dengan terus berusaha mengubah kebiasaan buruk yang merugikan alam sekaligus mempertahankan agar Bumi tetap lestari. Salah satunya dengan menjaga hutan untuk masa depan.

Hutan mempunyai peran besar dalam melindungi Bumi dari kerusakan akibat pemanasan global. Tak cukup sampai disitu, hutan pun berfungsi memperbaiki kondisi sekitar untuk meminimalisir bencana yang lebih besar.

Meski tak lagi sama kondisi bentang alam kita sebagaimana dahulu, namun adanya hutan akan membantu menstabilkan kehidupan di Bumi. Lalu, apa sajakah peran hutan dalam menghadapi perubahan iklim?

Mereduksi Karbon di Atmosfer

Hutan yang terdiri dari sekumpulan tumbuhan dan mempunyai tutupan daratan yang cukup luas, berfungsi menyerap karbon di atmosfer. Berbagai studi menyebutkan bahwa hutan di Bumi mampu menyerap 2,4 miliar ton karbon dioksida per tahunnya. Dimana lebih dari 70% karbon tersimpan di vegetasi dan sisanya berada dalam tanah.

Melalui siklus karbon ini, hutan mempunyai peran signifikan dalam mengatur iklim dengan cara menjaga tutupan awan, memantulkan kembali sinar matahari agar bisa bisa keluar dari atmosfer, dan menjaga siklus air untuk meningkatkan kelembaban di atmosfer.

Para peneliti dari Amerika Serikat dan Kolombia telah menemukan bahwa hutan di seluruh permukaan Bumi mampu menjaga planet ini lebih dingin setidaknya 0,5 derajat Celcius ketika efek biofisik dari senyawa kimia hingga turbulensi dan pantulan cahaya, digabungkan dengan karbon dioksida.

Menyimpan Cadangan Energi Masa Depan

Jika kelangkaan pangan dan sumber energi menjadi salah satu ancaman dari perubahan iklim, maka keberadaan hutan bisa menjadi solusinya. Energi mikrobiologi digadang-gadang menjadi potensi sumber energi di masa depan dan hutanlah sebagai gudangnya mikrobiologi di muka Bumi.

Dalam perkembangan ilmu bioteknologi hutan telah diketahui bahwa potensi mikroorganisme atau mikrob hutan dapat digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan fungsi ekosistem hutan tropis sekaligus dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan mengurangi dampak kerusakan lingkungan.

Kedepannya, juga bisa digunakan untuk memulihkan dan merekonstruksi kembali fungsi-fungsi hutan, menyediakan alternatif energi dan alternatif pangan hingga obat-obatan. Lebih jauh lagi dalam dunia industri, mikrobiologi hutan berpotensi untuk dikembangkan guna membangun bio-ekonomi.

Menjaga Kelestarian Berbagai Spesies

faktor berkurangnya keanekaragaman hayati
Keanekaragaman hayati yang posisinya kini terancam, punya peranan penting untuk menghadapi perubahan iklim. Merawat ekosistem hutan itu artinya sekaligus menyelamatkan keanekaragaman hayati. Proses pengawetan hutan juga untuk melindungi gen, spesies, habitat atau ekosistem di dalamnya.

Keanekaragaman hayati sendiri menjadi salah satu cara untuk mitigasi dan adaptasi iklim. Dengan menyelamatkannya, kita telah berupaya mencegah kerusakan ekosistem alam agar tidak lebih parah lagi.

Tanpa kita sadari, sejak zaman purba hingga era teknologi informasi, biodiversity menjadi sektor penting perkembangan umat manusia. Oleh karena itu, perlunya menjaga hutan dan keanekaragaman hayati adalah untuk menyelamatkan peradaban manusia itu sendiri.

Menjaga Stabilitas Alam

Laju deforestasi di Indonesia termasuk yang cukup besar di dunia. Negara kita menduduki peringkat ke-4 dengan kehilangan luasan hutan primer di tahun 2020. Padahal, hutan dan segala isinya punya peran penting untuk menjaga suhu Bumi tetap dingin dan menjaga stabilitas alam.

Selain penyerap karbon dan pemasok oksigen, pohon di hutan mampu menyerap karbon monoksida, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida. Bahkan termasuk peredam bising alami yang paling efektif dalam menahan polusi suara. Akar-akarnya pun bak spons raksasa yang bisa menyerap limpahan air kemudian akan ditampung dan dikeluarkan dalam bentuk mata air atau air tanah.

Solusi Mengatasi Kemiskinan dengan Kebijakan Yang Tepat

Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa manusia hidup bergantung pada hutan. Mulai dari kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan papan, hingga kebutuhan sekunder dan tersier seperti penggunaan kertas untuk hal yang sifatnya rekreatif. Di sekitar kita pun masih banyak orang yang mata pencahariannya didapat dari hasil hutan.

Untuk itu, perlu adanya kebijakan yang tepat tentang pemanfaatan lahan hutan. Seperti regulasi yang jelas pada pelaksanaan perhutanan sosial agar masyarakat tak hanya punya akses legal terhadap hutan negara, tapi juga punya tanggung jawab penuh untuk melestarikannya.

Di sisi lain, penerapan agroforestri dengan pengawalan yang tepat. Agar pertanian untuk menyediakan suplai bahan pangan tidak terganggu, sekaligus para petani tidak sembarangan membuka lahan demi keuntungan mereka sendiri tanpa memperhatikan konservasi tanah dan tumbuhan sekitarnya yang justru berdampak buruk bagi lingkungan.

Melangkah Bersama Wujudkan Solusi Menghadapi Polusi dan Adaptasi Perubahan Iklim

cara menghadapi perubahan iklim
Jika kini kita telah menyadari bahwa selimut polusi membuat bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim, maka upaya terbaik kita adalah mulai belajar beradaptasi dan mempersiapkan mitigasi. Sudah banyak orang yang mulai sadar untuk melestarikan Bumi mulai dari hal sederhana hingga banyak gerakan edukasi untuk lebih menyadarkan masyarakat luas.

Sebut saja gerakan mengurangi sampah sekali pakai, ajakan bawa wadah makan dan minum sendiri, himbauan untuk mengurangi konsumsi daging, hingga kegiatan penghijauan yang rutin dilakukan oleh berbagai instansi, kelompok masyarakat, atau komunitas tertentu.

Selain hal-hal di atas, beberapa aktivitas berikut bisa dilakukan dalam rangka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, diantaranya:

Memeriksa Kualitas Udara Di Sekitar Tempat Tinggal

Sejauh ini, kualitas udara belum banyak dijadikan pertimbangan ketika seseorang memilih hunian. Padahal, kondisi udara akan sangat berpengaruh pada aktivitas sehari-hari dan produktivitas seseorang.

Secara khusus WHO mengungkapkan bahwa kehidupan manusia saat ini tidak terlepas dari pencemaran udara dari berbagai arah. Mulai dari asap kendaraan, asap rokok hingga pembakaran sampah. Pada akhirnya, polusi udara menjadi salah satu penyebab kematian akibat penyakit kronis seperti stroke, penyakit jantung, kanker paru-paru, dan infeksi saluran pernapasan akut.

Melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) ditetapkan secara resmi sebagai indeks kualitas udara. ISPU merupakan angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya.

Dengan adanya ISPU, dapat dijadikan sebagai pusat informasi kualitas udara ambien oleh masyarakat di lokasi dan waktu tertentu serta sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran udara.

Meningkatkan Konsumsi Pangan Lokal

Menurut data dari World Wide Fund for Nature (WWF), pangan menghabiskan sumber daya alam terbesar, sekaligus menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Produksi pangan menggunakan 34% lahan dan 69% air tawar dunia, menyebabkan terjadinya 75% deforestasi, 30% erosi tanah lapisan atas, dan berkontribusi pada setidaknya 24% dari gas emisi rumah kaca.

Melalui penguatan pangan lokal, diversifikasi dan ketahanan pangan akan terjaga serta menguatkan perekonomian daerah. Tidak hanya itu, selain mengurangi emisi karbon saat proses produksi, dengan mengkonsumsi pangan hasil kekayaan alam di sekitarnya juga dinilai bisa mengurangi sampah dan polusi udara dari asap kendaraan ketika pendistribusiannya.

Edukasi Tentang Menyusui Untuk Adaptasi Perubahan Iklim

Menyusui sebagai proses alami yang harus dilalui oleh seorang wanita ketika menjadi ibu, ternyata punya dampak positif untuk menghadapi perubahan iklim. Dengan memberikan ASI, bisa mengurangi penggunaan susu formula sekaligus menekan produksinya yang mengekstraksi banyak sumber daya alam.

Menurut sebuah penelitian terbaru, memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan akan menghemat 95-153kg CO₂e (karbon dioksida ekuivalen) per bayi dibandingkan dengan pemberian susu formula yang memerlukan sekitar 4.700 liter air per kilo susu.

Belum lagi bahan-bahan pembuat susu formula yang menggunakan minyak kelapa sawit untuk kebutuhan mineral dan vitamin bagi pertumbuhan bayi. Kebutuhan air yang digunakan juga cukup tinggi untuk pengangkutan bahan mentah ke pabrik, pengolahan hingga ke tangan konsumen.

Tidak hanya itu, susu formula bubuk membutuhkan air yang dipanaskan hingga suhu 70°C agar steril dan aman dikonsumsi. Belum lagi sampah yang dihasilkan dari kemasannya yang hanya bisa sekali pakai. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa jumlah sampahnya mencapai 550 juta kaleng susu formula, 86.000 ton logam, dan 364.000 ton kertas.

Jika bisa dituangkan dalam sebuah kebijakan, edukasi tentang pentingnya menyusui untuk menghadapi perubahan iklim, bisa diberikan sebagai bagian dari pendidikan seksual. Khususnya bagi remaja putri agar mereka tidak hanya menguasai teori saja namun bisa mendapatkan gambaran untuk bijak menentukan keputusan di masa mendatang.

Sebab, tantangan #MudaMudiBumi kedepannya selain krisis iklim juga terdapat krisis moral. Sebagaimana yang kita ketahui, banyak dari remaja di Indonesia yang terjerumus pada seks bebas tanpa memikirkan konsekuensi ketika sudah memiliki anak termasuk minimnya pengetahuan tentang pentingnya menyusui.

Oleh sebab itu, membuat kebijakan dengan memasukkan kurikulum proses menyusui ke dalam pendidikan seks di sekolah, selain untuk memantik para remaja berpikir logis sebelum bertindak, juga memberikan pengetahuan dasar bahwa menyusui menjadi bagian mitigasi perubahan iklim.

Saatnya Berkolaborasi Untuk Lebih Berani Menyuarakan Isu dan Pendapat

Banyak orang yang kini mulai menyadari perubahan iklim dan dampaknya bagi kehidupan. Perlahan, mereka mencoba melakukan hal terbaik untuk bisa menjaga Bumi. Namun terkadang, masih banyak yang belum berani mengutarakan pilihan hidup mereka yang eco friendly karena dianggap sok-sokan.

Oleh karenanya, perlu sinergi dan kolaborasi agar lebih banyak orang dengan nilai dan tujuan yang sama, saling memberi dukungan dan menguatkan dalam membawa perubahan baik di sekitarnya. #TeamUpForImpact, saatnya melangkah bersama untuk mencapai tujuan yang besar.

So, yuk bersama-sama kita jaga Bumi ini dengan cara terbaik yang bisa kita lakukan. Mulai dari diri sendiri, dari hal yang paling sederhana, dan saat ini juga. Agar lebih bersemangat, tidak ada salahnya bergabung dengan komunitas yang punya value yang sama dengan diri kita.

Kesimpulan

Merenungi bahwa hidup kita tak lepas dari yang namanya polusi dan dihadapkan pada perubahan iklim dengan kejadian alam yang tak terduga setiap waktunya, membuat kita perlu lebih banyak upaya melestarikan Bumi. Salah satunya dengan menjaga hutan sebagai pelindung Bumi dan penawar atas berbagai kekacauan yang terjadi.

#UntukmuBumiku menjadi sebuah hashtag singkat namun syarat akan makna penyadaran bahwa Bumi sebagai rumah kita sedang sangat membutuhkan kerja keras untuk merawatnya. Jika dalam keseharian kita tak pernah bisa lepas dari polusi, maka setiap hari pula akan selalu ada cara bagi kita melestarikan lingkungan sekitar.




Referensi:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/09/nasa-suhu-permukaan-bumi-naik-085-c-pada-2021/
https://www.halodoc.com/artikel/4-pengaruh-polusi-udara-pada-kesehatan
https://betahita.id/news/detail/6532/solusi-ramah-mengatasi-polusi-udara.html.html
https://indonesia.go.id/kategori/keanekaragaman-hayati/3604/merawat-pohon-melestarikan-hutan?lang=1
http://pojokiklim.menlhk.go.id/read/ketahanan-pangan-covid-19-dan-perubahan-iklim
https://theconversation.com/menyusui-bisa-membantu-menghadapi-perubahan-iklim-ini-penjelasan-akademisi-126145

Related Posts

Posting Komentar