Tumbuh besar di lingkungan budaya agraris, menjadikan orang-orang terdahulu lebih peka dengan alam. Mencoba membuat review buku Suta Naya Dhadhap Waru semakin menyadarkan saya betapa manusia dan tumbuhan menjadi entitas tak terpisahkan.
Almarhum Iman Budhi Santosa secara khusus membahas dan menggali sejarah kehidupan wong cilik di Jawa (sekitar Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY) yang tidak hanya memanfaatkan, namun juga memuliakan dan menghormati tumbuhan yang hidup berdampingan dengan mereka sebagai nama desa atau wilayah tertentu.
Begitulah sekiranya saya tertarik dengan buku ‘Suta Naya Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan’. Ketika itu, saya yang memang sedang mengembangkan kepekaan terhadap lingkungan, terdorong untuk membeli buku ini.
Tidak hanya tentang mencintai alam, buku ini sukses membuat saya lebih memahami tumbuhan sebagai unsur kebudayaan yang kuat. Untuk itulah kemudian memunculkan keberanian bagi saya menata pekarangan rumah, hingga menanam beberapa jenis tumbuhan salah satunya dengan memperbanyak stevia. Bahkan, saya pun baru tahu beberapa nama jenis tumbuhan yang semula saya kira sekedar nama desa saja.
Informasi Buku
Iman Budhi Santosa dengan baik menuliskan tentang tumbuhan bukan hanya secara ilmu botani atau sekedar kamus klasifikasinya sesuai taksonomi. Ada sisi filosofis mendalam yang dipertemukan dengan sejarah antimainstream dalam kehidupan manusia Jawa sebagai rakyat jelata yang jarang dibahas.
Sebagai bentuk mengenang jasa beliau dan wujud terima kasih saya atas pelajaran hidup terbaik yang didapat, saya pilih review buku Suta Naya Dhadhap Waru sebagai yang pertama kali dalam blog impian sesuai salah satu niche tentang ulasan buku.
Identitas Buku
Judul: Suta Naya Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan TumbuhanPenulis: Iman Budhi Santosa
Penerbit: Interlude
Tebal: xxx + 478 halaman
Genre: Non fiksi
Desain Sampul: Mangun_art
Pemeriksa Aksara: Latief S. Nugraha
Tata Letak: Oemah Djanur
Tahun terbit: 2017
ISBN: 978-602-6250-42-1
Harga: Rp85.000,00
Blurb
Wong cilik di Jawa memiliki hubungan yang spesial meski secara resmi tidak dituliskan dalam sejarah. Mereka menempatkan tumbuhan sebagai perisai dan sedulur sinarawedi–saudara seumur hidupnya.Dari keberadaan tumbuhan, manusia Jawa meneladani kejujuran dan menerima segala sesuatu apa adanya tanpa berharap maupun menuntut yang bukan semestinya. Sekaligus tetap berpijak dalam kebermanfaatan apapun kondisinya.
Tidak heran jika pada akhirnya mereka memuliakan dan memberi penghormatan pada tumbuhan dengan dijadikan nama kampung halaman yang dicintainya. Buku ini mencoba mengenang dan menjelaskan kebanggaan manusia Jawa yang disandingkan dengan tumbuhan dalam peribahasa ‘Suta Naya, Dhadhap Waru’.
Pembahasan Dalam Buku
Buku yang cukup tebal ini dalam pembahasannya dibagi menjadi beberapa bagian berikut:1. Pengantar Penulis
Pada bagian paling awal, penulis mencoba mengemukakan latar belakang dan alasan menulis buku ini. Sengaja ditulis untuk mengenang dan menghargai manusia Jawa dalam budaya dan lingkungan agraris, sekaligus merasa bangga atas keberadaan dan derajat mereka yang disamakan dengan tumbuhan.Dilanjutkan dengan puisi beliau dalam Antologi Puisi Ziarah Tanah Jawa, berjudul ‘Siang di Tengah Padang Ilalang’ yang seolah ingin menjelaskan bahwa tanaman yang dapat menyebar cepat di lahan secara alami ini berfungsi untuk penanda kesuburan tanah dan mencegah erosi.
Dijaganya tebing lembah dari lelah
bertahun menunggu tak dijamah.
Disembunyikan ulat, kutu, juga serangga
menemukan dulu benih-benih cinta
sebelum ditetapkan menjadi hama
oleh siapa pun yang mengejarnya
2. Catatan Sahabat
Catatan pertama ditulis oleh Renville Siagian seorang konsultan perkebunan, dengan judul ‘Tumbuhan sebagai Pertapa Sejati’. Beliau menuliskan tentang tumbuhan yang walaupun tetap diam tak bergerak seperti pertapa, namun tetap bertumbuh dan bermanfaat melalui bunga, buah, dan tubuhnya serta oksigen untuk sekitarnya.Dibahas pula tentang cara Iman Budhi Santosa sebagai seorang sastrawan yang out of the box dengan multidisiplin ilmu menggali nama-nama daerah yang menggunakan nama tumbuhan. Beliau pun juga berharap semoga karya ini disempurnakan dan diteruskan oleh generasi setelahnya serta di daerah selain Jawa juga.
Catatan kedua, berjudul 'Niti Laku Para Pemulia Kehidupan' yang ditulis oleh Sukandar selaku pengelola Interlude. Beliau mengawali dengan laju deforestasi di Indonesia yang cukup besar.
Disaat beberapa orang menggerus keberadaan hutan, dialihfungsikan untuk pembangunan dan kemakmuran, masih ada segelintir orang yang berusaha mengabdikan diri merawat tumbuhan.
Terutama manusia Jawa di desa-desa yang dengan tulus merawat dan memuliakan tumbuhan. Sebagaimana mereka pahami bahwa para leluhur menanamkan akan kebudayaan melalui nama desa-desa yang berasal dari tumbuhan.
Sambung menyambung dalam keberagaman jenis dan nama, menjadi 'hutan lindung' yang menjaga keseimbangan. Sekaligus sebagai pelajaran bagi bersama.
3. Bagian 1: Manusia Jawa dan Tumbuhan
Bisa dibilang, bagian 1 adalah ruh buku ini. Diawali dengan membahas Suta Naya Dhadhap Waru, pembaca dibawa pada penguraian makna dari berbagai aspek dan pendekatan.Suta Naya Dhadhap Waru merupakan peribahasa Jawa. Tersusun atas kata suta yang berarti anak, sais/kusir; sedangkan naya bermakna tingkah laku, sikap, ulah, atau kebijaksanaan.
Suta naya lazim ditemui dan dipakai oleh banyak orang, serta tidak mencerminkan adanya relasi tertentu dengan agama, kepercayaan, maupun strata kebangsawanan.
Sedangkan dhadhap dan waru merupakan tumbuhan yang umum tumbuh di Jawa, baik itu dibudidayakan maupun tidak. Keduanya menyatu dengan kehidupan masyarakat pedesaan sejak zaman dahulu.
Pohon dadap (Erythrina lithosperma) sering digunakan sebagai pupuk sekaligus dipercaya menurunkan panas pada bayi dan anak-anak. Pohon waru (Hibiscus tiliaceus) di masa lalu daunnya dimanfaatkan untuk membungkus tempe, sementara kayunya yang terkenal awet dan kuat digunakan untuk bangunan dan peralatan rumah tangga.
Selanjutnya, penulis memaparkan bagaimana proses masyarakat tradisional Jawa belajar dari tumbuhan dalam berbagai ranah kehidupan. Baik itu secara praktis, medis, empiris, hingga prinsip hidup dan spiritualitas.
Tumbuhan tidak hanya sebatas bahan pangan, namun juga didapati khasiatnya sebagai jamu dan obat. Dalam laku prihatin dan budaya, mereka pun tak luput dari mengidolakan tumbuhan.
Dari tumbuhan pula, manusia Jawa belajar bahwa yang disebut rumah atau tempat tinggal bagi tumbuhan adalah ditentukan di mana akarnya menjalar. Bukan harus pada sebuah pot, jambangan, taman atau polybag, kendati di sana seluruh persyaratan tumbuhnya dicukupi. (hlm.9)
Potret manusia Jawa juga digambarkan bagaimana mereka setia pada tanah kelahirannya. Meski jauh dari gemerlap modernitas maupun kondisi porak poranda karena bencana, mereka akan tetap kembali pada kampung halamannya.
4. Bagian 2: Tumbuhan dalam Peribahasa Jawa
Setelah memaknai hubungan manusia Jawa khas pedesaan, pengalaman hidup yang berharga dari berinteraksi dengan alam diabadikan dalam banyak peribahasa Jawa yang menggunakan nama tumbuhan.Lebih dari itu, mereka menginternalisasi nilai dan semangat tumbuhan dalam berserah diri juga menguatkan pribadi dengan moral, akhlak, budi pekerti, serta perilaku. Penulis menguraikan lebih dari 70 peribahasa beserta artinya yang pada masanya adalah pesan moral yang disampaikan dari mulut ke mulut.
Seperti rawe-rawe, rantas malang-malang putung yang menyertakan pohon rawe (Mucuna pruriens). Pesan moral dari peribahasa ini orang harus berani dan tegas menghadapi gangguan yang menghambat pekerjaan dan merusak kehidupannya.
5. Bagian 3: Tumbuhan dan Nama Desa di Jawa
Pemaparan kedekatan masyarakat pedesaan di Jawa dengan tumbuhan, diperkuat lagi melalui nama-nama desa yang tersebar di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY yang menggunakan nama tumbuhan.Yang mengagumkan, penulis berhasil menemukan 324 tumbuhan dan tercatat sebanyak 3395 sebagai nama desa/kelurahan. Sungguh, penelusuran disertai riset yang mendalam untuk sebuah karya dalam bentuk tulisan.
Ditulis dengan urutan abjad, memudahkan pembaca menemukan jenis tumbuhan yang ingin diketahui lebih lanjut. Disertai penjelasan singkat mengenai manfaat, daya tahan hidup, sekilas aspek fisiologis dan morfologis, serta keberadaannya saat ini juga dilengkapi dengan tabel nama desa/kelurahan diikuti kecamatan dan kabupatennya.
Sebut saja pohon jati (Tectona grandis) sebagai tumbuhan terbanyak yang diadopsi menjadi 230 nama wilayah. Penulis menyampaikan pandangan tradisional tanaman ini sebagai 'sejatining kayu' karena kekuatan dan daya tahan kayu jati untuk bangunan maupun perabotan.
Ada pula pohon dieng (Chenopodium album) yang tidak banyak orang ketahui sebagai tanaman berupa sayuran semusim yang tumbuh di pegunungan. Masyarakat terdahulu bisa jadi mengabadikannya sebagai nama kawasan dataran tinggi Dieng, meski saat ini lebih populer penamaannya berdasarkan sejarah dan tinjauan bahasa serta budaya.
Disertai informasi tambahan terkait nama lain beberapa tumbuhan, mengukuhkan karya ini layaknya kamus nama desa yang diadopsi dari nama tumbuhan. Seperti pohon janti yang di beberapa tempat dikenal dengan pohon giyanti, atau pohon munung yang beberapa orang menyebutnya pohon wunung.
6. Catatan Pamungkas
Karya fantastis yang syarat dengan berbagai pelajaran dalam hidup ini ditutup dengan beberapa catatan, diantaranya penjelasan singkat mengenai spesifikasi tumbuhan dalam buku Suta Naya Dhadhap Waru menggunakan referensi hasil penelitian K. Heyne dalam buku Tumbuhan Berguna Indonesia I-IV (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan, 1987).Penulis juga menambahkan alasan mengapa tidak memasukkan kawasan di Madura dan Sunda yang menggunakan nama tumbuhan karena keterbatasan bahasa yang tidak dikuasai. Tidak lupa beliau menyampaikan alasan mengapa nama tumbuhan dipilih atau tidaknya tumbuhan sebagai nama daerah.
Sekali lagi, beliau menekankan pada sejarahnya, tanah Jawa, dan kebudayaannya telah memuliakan tumbuhan dan menempatkannya sebagai sedulur sinarawedi. Nama-nama tumbuhan yang dijadikan nama suatu daerah tersebut kini masih ada, dan semoga terus ada.
5 Pelajaran Hidup Berharga Yang Bisa Dipetik Dari Review Buku Suta Naya Dhadhap Waru
Berdasarkan buku ini, beberapa pelajaran hidup yang bisa diteladani dan diimplementasikan diantaranya:
1. Menerima segala sesuatu dengan bijak
Filosofi orang Jawa yang diangkat dari hidup tumbuhan adalah narimo ing pandum. Kemampuan menerima segala takdir dengan ikhlas dan bijaksana sebagaimana kehidupan tumbuhan.2. Hanya mengambil yang baik dan memberi yang terbaik
Tumbuhan mengambil unsur-unsur di alam sesuai kebutuhan dan yang baik bagi perkembangbiakannya. Serta akan memberikan buah, bunga, biji, kayu, bahkan daun pun untuk kebermanfaatan manusia baik dikonsumsi maupun digunakan sebagai penopang hidup lainnya.3. Tidak melupakan asal-usulnya
Masyarakat tradisional Jawa yang digambarkan hidup jauh dari kemewahan zaman, tidak pernah melupakan akar dimana mereka berasal. Sekalipun merantau, beberapa orang tetap akan selalu kembali baik itu secara fisik maupun non fisik seperti prinsip hidup.4. Mengedepankan sikap gotong royong.
Sebagai masyarakat agraris, sejak zaman dahulu orang-orang yang hidup di pedesaan tidak terlepas dari kebiasaan gotong royong. Termasuk bersama-sama dalam menjaga tumbuhan dan kebudayaan yang tercermin di dalam kehidupan mereka.6. Menjaga kelestarian alam untuk kebaikan bersama
Kehidupan baik antar masyarakat maupun dengan tumbuhan, terdapat konsep penjagaan yang kuat. Pada zaman dahulu mereka hidup dengan mengolah alam tapi tidak serta merta merusaknya. Namun, justru memuliakannya dengan menjadikan nama tempat mereka tinggal.Begitu pula tumbuhan, dibiarkan tumbuh sebagaimana kodratnya. Pada akhirnya, akan menjadi pelindung alami bagi masyarakat sekitarnya.
Penutup
Buku Suta Naya Dhadhap Waru bukan hanya wujud tulisan dari sebuah pemikiran. Melainkan representasi lelaku dari pemikiran itu sendiri.Sebuah perenungan akan keberadaan tumbuhan yang mengantarkan pada daftar nama-nama daerah yang terinspirasi dari beraneka ragam nama dan jenis tumbuhan. Karya ini layaknya paragraf demi paragraf laporan ilmiah namun tetap dengan nuansa sastra.
Tentu saja ada yang tidak sepenuhnya sempurna. Begitu pula dengan buku ini yang masih belum banyak menjelaskan mengapa nama tumbuhan tersebut diambil sebagai nama suatu wilayah dan siapa yang mencetuskannya.
Membaca buku ini bak berbincang dengan sesepuh di keluarga yang menceritakan asal-usul nama desa kami tinggal. Review buku Suta Naya Dhadhap Waru menyelipkan pesan tentang pelajaran hidup yang berharga dari kehidupan berdampingan dengan alam.
Masyallah bacaannya jujur mungkin kalo lihat judul ini di toko buku gak akan tertarik, tapi setelah baca ini ternyata sungguh menarik dan patut dibaca
BalasHapuskeren banget baca buiku tapi sekaligus reminder untuk menjaga kelestarian alam
BalasHapusIsi dari bukunya deep banget, berasa dari bagaimana cara menyampaikan isinya melalui tulisan ini mbaa..
BalasHapusSaluuut aku mba, dirimu bisa baca buku seperti ini dan bisa nge-review sebaik ini. Bener-bener kereeeen. Kalo aku nyerah duluan jika disuruh baca buku seperti ini. Mungkin butuh waktu buat pemahaman lebih jikalau harus baca sendiri. Termotivasi aku jadinya..
BalasHapus