header blog terbaru

Perjalanan Memahami Diri Sendiri Dengan Mendaki

19 komentar
memahami diri dengan mendaki

Belajar dari prinsip almarhum bapak bahwa kelelahan otak harus diimbangi dengan kelelahan fisik, membuat saya sering melakukan hiking atau sekedar long march selepas ujian. Beruntungnya, saat SMP saya bersekolah asrama yang salah satu program tiap tiga bulan sekali adalah aktivitas outdoor bagi semua murid. Sejak saat itu pula, hiking menjadi hobi.

Ditambah lagi tempat tinggal saya yang berada di daerah pegunungan. Diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing serta kawasan dataran tinggi Dieng, menjadikan pendakian sebagai aktivitas bulanan yang tidak boleh ketinggalan.

Bisa jadi aspek biofilia atau naluri bawaan untuk terhubung dengan alam pada diri saya cukup besar. Atau, faktor genetika yang didukung yang dengan pola asuh di keluarga. Membuat sebagian besar anggota keluarga saya suka mendaki. Sebagaimana riset PLOS Biology yang menunjukkan bahwa 46% keinginan untuk pergi ke alam diturunkan secara genetik.

Hiking memang punya banyak manfaat bagi kesehatan tubuh. Meski harus menapaki jalanan yang terjal dan menanjak, tapi setiap kelelahan setelah turun gunung justru membuat tubuh terasa lebih fresh. Barulah setelah beranjak dewasa, saya memahami bahwa mendaki membuat saya lebih memahami dan mencintai diri sendiri.

Manfaat Mendaki Gunung Untuk Menumbuhkan Self-Love

manfaat hiking
Belakangan ini konsep self-love gencar dibicarakan seiring dengan maraknya isu kesehatan mental. Tidak sedikit yang terjebak pada miskonsepsi. Pada akhirnya alih-alih bisa mencintai diri secara bijak, tapi justru meninggikan egosentrisnya.

Membaca buku Terapi Rumi membuat saya belajar bahwa merawat self-love perlu menganalisis seluruh gambaran kehidupan. Dari situlah saya merenungi kembali bagaimana self-love yang saya terapkan banyak dipengaruhi oleh pengalaman mendaki.

Antusias sejak merencanakan pendakian, suka duka selama perjalanan, kebahagiaan saat berpetualang bersama teman, berburu sunrise yang kadang gagal didapatkan, hingga pulang kembali yang butuh lebih banyak perjuangan. Semuanya menghadirkan pengalaman yang entah kenapa saat tak lagi rutin mendaki seperti sekarang ini justru menghadirkan ketenangan batin.

Pada akhirnya saya menyadari bahwa hiking bukan sekedar aktivitas fisik. Melainkan sebuah perjalanan mental dan spiritual. Berikut manfaat mendaki yang membantu saya meningkatkan kecintaan pada diri sendiri dengan lebih baik:

1. Meningkatkan Kesadaran Diri

Pendakian bukanlah aktivitas yang mudah. Butuh kesiapan fisik, mental, dan materi yang memadai. Sebelum mendaki, setidaknya dua pekan sebelumnya saya terbiasa rutin lari pagi dengan durasi minimal 30 menit untuk menjaga stamina. Belum lagi persiapan bekal dan perlengkapan, juga harus dipersiapkan matang-matang.

Dari persiapan itulah menjadi standar minimal saya bisa mengukur kesanggupan mendaki. Termasuk apakah jiwa raga siap untuk berlelah-lelah ria, bertemu orang baru, dan tentu saja meninggalkan nyamannya kasur demi menembus punggung gunung yang bisa saja dinginnya mendekati nol derajat.

Secara tidak langsung, aktivitas tersebut membuat saya harus bisa mengukur kemampuan diri. Sekaligus menggali kesadaran apakah mendaki ini perlu dilakukan dengan tujuan yang baik atau sekedar untuk menghindar dari kenyataan. Perlahan tapi pasti, semakin menyadari batas kemampuan diri, semakin sadar pula kehadiran diri secara utuh berkat mendaki.

2. Melatih Mindfulness

Jangan dibayangkan mendaki selalu menyenangkan. Berinteraksi dengan banyak orang, harus mencapai kesepakatan dengan teman pendakian, bahkan kenyataan tak sesuai dengan rencana pun kerap terjadi. Apalagi jika berkaitan dengan alam yang identik dengan cuaca tak menentu.

Meski bertahun-tahun menjalani hobi ini, tidak jarang saya pun merasa jengkel dan ingin menyerah. Jika sudah demikian, saatnya kembali meluruskan niat dan mengontrol diri sendiri.

Dari sinilah saya belajar untuk lebih mindfull menghadapi segala sesuatu di kehidupan, bahkan terkadang menghadapi diri sendiri. Sebagaimana perjalanan menyusuri hutan dan menggapai ketinggian yang dimulai dari langkah pertama dan konsisten step-by-step, begitulah menjalani hari-hari untuk mencapai tujuan tertentu.

Hiking membantu saya untuk benar-benar hadir dalam setiap kegiatan, bahkan kejadian tak diinginkan sekalipun. Meski belum sepenuhnya berhasil, tapi mendaki mengajarkan saya untuk memperhatikan jalan mana yang harus ditempuh ketika dihadapkan pada banyak pilihan ataupun masalah.

3. Mengurangi Stress

Sebuah studi menemukan bahwa orang yang berolahraga dengan berjalan kaki selama 90 menit, memiliki kadar hormon kortisol–dikenal sebagai hormon stress, lebih rendah dibanding yang tidak melakukannya. Hal ini juga dirasakan para pendaki yang merasa lebih rileks dan tidak terlalu tegang dalam menjalankan aktivitas hariannya setelah turun gunung.

Penelitian tersebut sekaligus menunjukkan efek salutogenik dari alam terbuka terhadap manusia. Saya pun merasakan demikian, mendapatkan efek yang mendukung kesehatan fisik maupun mental dari hutan dan lembah yang dilewati. Mendaki bisa jadi sarana untuk benar-benar refreshing dan menyegarkan pikiran sekaligus menurunkan tingkat stress.

4. Menjaga Fokus

Hiking bukan sekedar percaya pada kemampuan diri sendiri. Tapi juga perlu didukung dengan bagaimana agar tetap fokus dan tidak mudah terdistraksi oleh berbagai macam gangguan. Terlebih lagi pada pikiran negatif yang sering datang dan menyebabkan mood menurun.

Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Psychological and Cognitive Sciences mememperlihatkan orang-orang yang berjalan di alam terbuka selama 90 menit memiliki lebih sedikit pemikiran yang fokus pada hal negatif. Ini membuktikan bahwa dengan mendaki akan lebih banyak mengalokasikan pikiran kita pada hal-hal positif dan menjaga tetap fokus terhadap tujuan yang baik.

5. Melatih Untuk Memberi Penghargaan Pada Diri

Penting bagi setiap orang untuk bisa menemukan cara menghargai diri sendiri. Barangkali ada yang mencurahkannya dengan makan, nonton drama korea, berkumpul bersama teman, atau hal-hal lain yang tujuannya untuk berterima kasih pada diri sendiri.

Mendaki menjadi salah satu cara untuk memberi penghargaan pada diri sendiri. Sederhananya seperti saat harus menempuh pos-pos pendakian, tiap kali berhasil mencapai pos tertentu saya memberi hak pada tubuh untuk beristirahat, menyantap bekal, atau mengabadikan momen dengan mengambil foto.

Sesederhana itu. Tapi aktivitas tersebut berhasil membuat saya menyadari bahwa memberi penghargaan pada diri sendiri bisa dilakukan dengan cara yang simple tapi sangat bermanfaat dan bermakna.

Hiking Membangkitkan Kekuatan Tersembunyi

hiking dan self-love

Membicarakan self-love, erat kaitannya dengan konsep self-compassion, sebagai langkah awal untuk menyeimbangkan hidup, menyadari kekuatan dan menerima kelemahan. Dengan mendaki yang menguji ketahanan fisik, mental, dan spiritual kerap kali meningkatkan kepercayaan diri dan membangkitkan kekuatan tersembunyi.

Perjalanan ke puncak gunung bukanlah perlombaan untuk beradu cepat dengan pendaki lainnya, tapi sebuah perjalanan menaklukkan sisi-sisi negatif pada diri. Bukan tentang berapa banyak gunung yang telah didaki, tapi sejauh mana pendakian tersebut membuat kita semakin mencintai diri sendiri agar bisa memaksimalkan potensi.



Referensi:
Bratman, Gregory N., et al., Nature experience reduces rumination and subgenual prefrontal cortex activation. Psychology and Cognitive Sciences, 2015.
 
Chang, C.-c., et al., People’s desire to be in nature and how they experience it are partially heritable. PLOS Biology, 2022. 20(2): p. E3001500.
Sudimac, S., V. Sale, and S. Kühn, How nature nurtures: Amygdala activity decreases as the result of a one-hour walk in nature. Molecular Psychiatry, 2022.

Related Posts

19 komentar

  1. MasyaAllah serunya, jadi ingin naik gunung lagi mbak. Namun untuk saat ini memang belum memungkinkan. Karena lagi punya anak bayik. Setuju dengan pernyataan diatas kalo mendaki gunung itu gak hanya aktifitas fisik, tapi mental dan spiritualnya ikut ditempa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, mbak.. Saya juga masih punya anak balita. Jadi cuti dulu dari dunia pendakian. Cuma kadang-kadang suka kangen aja, jadi bikin tulisan ini deh. Hehe

      Hapus
  2. Untuk memunculkan keberanian dari dalam diri memang harus ditempa sejak dini. Sehingga bisa terarah, berani saat di sekolah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, pak. Gak instan buat bisa berani, perlu berlatih dan stimulus juga.

      Hapus
  3. Sepenting itu ya ternyata mendaki gunung itu.... Bermanfaat banget untuk menjada mental health kita... Aku sebenarnya pingin2 aja hiking, tapi apa daya dengkul sudah tidak friendly lagi
    I love beach aja deh...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tampaknya saya pun mulai begitu, Pak. Maksud hati ingin memeluk gunung, apa daya boyok tak sampai... Hehe

      Hapus
  4. So Proud melihat sosok ibu yang kuat dan tangguh untuk mendaki gunung, dan yang lebih apreciated adalah ini tidak hanya sekedar mendaki, tapi ada filosofi di belakangnya yang juga jauh lebih bermakna tentang memahami diri sendiri. This is so cool, respect.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan ini refleksi hobi mendaki saat belum punya anak, pak. Sekarang masih cuti panjang dulu... Hehe

      Hapus
  5. Setelah menikah udah jarang banget hiking dan mendaki, baca artikelnya jadi kangen summit lagi deh. Secapek apapun perjalanan menuju puncak, kalau udah sampai di tempat yang dituju atau puncaknya, ilang deh tuh keluhan akan segala capek-capek

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, mbak... Aku pun udah lama gak mendaki. Ngumpulin niat dan tekad dulu aja. Sambil nunggu anak bisa diajak. Hehe

      Hapus
  6. Jadi ingat film 5cm. Booming-nya film itu menjadikan hiking sebagai gaya hidup baru. Banyak yang tiba-tiba hobi hiking. Apakah hal itu buruk? Tentu saja tidak. Waktu nantinya akan memilah mana yang benar-benar pecinta alam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, iya betul... Pada akhirnya memang tetap seleksi alam. Siapa yang benar-benar pecinta alam, ia akan bertahan dan mempertahankan kecintaannya...

      Hapus
  7. Pengen banget sebenarnya nyobain mendaki. Kalo liat vlog pendaki tuh rasanya damai bangeettt.. Tp jujur aku ga berani mb, ehehhe. Harus bener2 dipersiapkan badannya. Naik tangga aja engap xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, mbak... Aku pun sekarang mulai jompo, hehe. Jadi naik gunungnya mulai dari jalan jauh dulu aja deeh.. Hehe

      Hapus
  8. Mbak jleb banget nih, perjalanan ke puncak gunung bukan berarti bersaing dengan pembdaki lain tapi lebih pada menaklukan siis negatif diri ini
    jujurly saya belum pernah naik gunung, jadi belum bisa membayangkan, membaca artikel mbak jadi menambah wawasan saya bahwa banyak sisi positif dari sebuah perjalanan naik gunung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bismillah, naik gunungnya ke Jabal Nur... Sekalian perjalanan spiritual pas haji atau umroh. Hehe

      Hapus
  9. dari jaman kuliah pengen banget naik gunung,sampai sekarang punya anak ga terealisasi ada aja kendalanya haha semoga ada kesempatan bisa naik menikmati keindahan gunung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bismillah Jabal Nur.. Naik gunung pas haji atau umroh ya mbak... Hehe

      Hapus
  10. Sangar dhekkkkk.... aku merasa iri ma kamu uey. Aku pikir ketika kuliah dulu bisa menghabiskan waktu mendaki dan dekt dg alam tapi faktanya hanya angan hehhe. Setelah berumah tangga . Aku berusaha mengenalkan anakku dg copataan allah yg masih natural

    BalasHapus

Posting Komentar