About Me

Follow on Facebook

header blog terbaru

Kultur Jaringan Kentang Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani dan Mewujudkan Pertanian Lestari

Posting Komentar
Dieng dan Wonosobo memiliki berbagai macam keunikan yang bisa dibilang paradoksial. Wilayah penghasil sayur yang kaya akan sumber daya alam ini ternyata dinobatkan menjadi kabupaten termiskin se-Jawa Tengah setelah Kebumen. Menurut data BPS terbaru, Wonosobo masih belum beranjak dari peringkat kemiskinannya selama 4 tahun terakhir.

Padahal, Wonosobo adalah primadona pangan Indonesia khususnya Pulau Jawa. Banyak komoditas sayur dihasilkan oleh Wonosobo yang di kirim ke kota-kota di Jawa seperti Jakarta, Jogja, Semarang maupun Solo. Bahkan, rata-rata produk yang memiliki kontribusi besar ke Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Wonosobo adalah pertanian.

Namun ada semacam paradoks. Kenapa pertanian yang memiliki kontribusi besar dalam perekonomian Wonosobo seolah tidak menjadikan masyarakatnya sejahtera? Adakah yang salah dengan nasib petani di Wonosobo?

Hal itulah yang membuat finalis Anugerah SATU Indonesia Award asal Wonosobo, Adhi Nurcholis tergerak. Berangkat dari backgroundnya sebagai petani dan menekuni pendidikan akademis pertanian, ia mencoba menelisik bagaimana agar petani dapat berdaya.

Sebagai generasi milenial, Adhi menunjukkan kepeduliannya terhadap petani lokal melalui interaksi dengan masyarakat pegunungan Dieng yang kebanyakan adalah petani kentang. Di tiap kesempatan, ia selalu memanfaatkan aktivitasnya untuk mengamati kebiasaan petani-petani tersebut.

Dari hasil pengamatan dan pengalamannya, ia mulai meraba permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi oleh para petani di sana. Bisa jadi, ada yang salah dengan karakter petani saat ini. Tapi, tidak menutup kemungkinan pula ada masalah yang sudah terjadi dari generasi ke generasi.

Kebanyakan mereka ternyata gagal beradaptasi dengan zaman. Para petani masih menggunakan pola pikir lama untuk menanam. Bahkan tidak sedikit diantara mereka membuat kerusakan lahan dengan ugal-ugalan menanam kentang.

Mereka juga kebanyakan gagal dalam mengelola keuangan selepas panen. Hal ini disebabkan literasi keuangan yang rendah. Kebanyakan masyarakat Dieng bahkan beranggapan sekolah menjadi sesuatu yang tidak penting. Buat apa sekolah jika sudah bisa menghasilkan uang di ladang?

Sekilas Tentang Pertanian Kentang di Dieng dan Tantangan Besarnya

Jika ditelisik ke belakang, era kejayaan kentang di Wonosobo sebenarnya sudah berumur hampir setengah abad. Berawal dari petani Pangalengan, Jawa Barat tahun 1970-an yang memperkenalkan model pertanian kentang di Dieng.

Menanam kentang ternyata membawa keuntungan besar dalam waktu yang singkat. Hal ini membuat masyarakat disana berbondong-bondong beralih dari menanam jagung, palawija dan tembakau menuju kentang.

Padahal, tiga komoditas sebelum kentang tersebut sudah sangat lama dipertahankan sejak era tanam paksa atau cultuur stelsel di masa kolonialisme 1830. Layaknya sistem pertanian yang umum berlaku di Jawa, kehidupan mereka sebelumnya juga bergantung pada jagung, palawija, dan tembakau.

Luas wilayah kebun kentang di Wonosobo sebenarnya cukup besar. Setidaknya ada 3500 Ha lahan kentang yang pusatnya ada di Kecamatan Kejajar. Kecamatan ini menghasilkan 80% produksi kentang di Wonosobo.

Luas lahan per hektar ini membutuhkan 1,5 ton bibit kentang. Berarti dalam satu tahun paling tidak menghasilkan 5250 ton kentang. Jika dikalkulasikan ada sekitar 131 Milyar pertahun yang dihasilkan dari bisnis kentang, dengan harga kentang 25 ribu per kilogram.

Namun kenyataannya, petani kentang Wonosobo hanya dapat menghasilkan 50-100 ton saja kentang per tahun. Itupun petani Wonosobo masih ketergantungan bibit kentang yang berasal dari Lembang, Bandung Jawa Barat.

Menurut Balitbangsa Kementerian pertanian menyebutkan bahwa, baru 15% bibit kentang di Indonesia yang bebas virus. Hal ini dikarenakan pembibitan yang sebagian besar dilakukan petani tidak terstandarisasi dengan baik.

Maka tidak heran, jika banyak lahan rusak karena penanam kentang di berbagai tempat utamanya di Dieng. Kasus terakhir adalah pendangkalan Waduk Mrica di Banjarnegara karena sedimentasi yang disebabkan tanah gembur yang terbawa air.

Sedimentasi tersebut terjadi akibat dari pertanian kentang yang secara masif membuka lahan dari hutan gunung. Ditambah lagi, kebiasan petani kentang yang menanam kentang 3-4 kali dalam setahun.

Dieng sebagai hulu daerah aliran sungai serayu, memiliki peran krusial dalam kelestarian alam. Daerah aliran sungai ini melewati Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga hingga ke Cilacap. Jika Waduk Mrica sampai jebol akibat sedimentasi lahan, maka wilayah hilir serayu pun pastinya akan ikut terganggu.

Pengolahan tanah yang sangat intensif juga dihadapkan pada topografi kawasan Dieng yang bervariasi. Tidak sedikit lahan pertanian yang terletak pada kawasan sangat miring, dan bahkan secara kriteria fisiografisnya dijadikan fungsi lindung.

Sistem pertanian dengan orientasi keuntungan yang maksimal, akan berhadapan dengan potensi erosi yang cukup tinggi. Perlakuan dalam budidaya pertanian seperti pemberian pupuk, obat-obatan, dan pembibitan yang tidak ramah lingkungan, seringkali tidak sejalan dengan kaidah konservasi.

Tak hanya soal isu lingkungan, tantangan besar pertanian kentang Dieng juga dihadapkan pada ketersediaan bibit. Problem ketergantungan pada bibit di luar wilayah dan banyak yang tidak terstandarisasi ini membuat petani semakin masuk dalam lingkaran setan.

Mereka seolah tidak mampu berdaya dan mandiri meski dengan hasil yang menguntungkan. Sekaligus, mereka juga secara tidak sadar merusak lahan Dieng yang dampaknya ke wilayah hilir serayu dan menambah daftar deforestasi yang akan memperparah bencana iklim.

Berawal dari Ide Skripsi Hingga Memberi Bukti

kultur jaringan kentang
Pada tahun 2016, Adhi sebenarnya sedang menyelesaikan skripsinya tentang kultur jaringan kentang. Ia pun bereksperimen di dekat rumahnya di Desa Serang, Kecamatan Kejajar, Wonosobo.

Enam bulan kemudian hasilnya mulai terlihat. Hingga membuat beberapa petani melirik uji coba dari Adhi ini. Mereka pun tertarik dan segera menerapkan hasil eksperimen dari Adhi. Siapa sangka, ketertarikan tersebut justru membawa pada hasil yang sangat tidak terduga.

Bibit yang dipakai dari produk eksperimen kultur jaringan ini dapat menghasilkan panen 10 kali lebih berlipat dari bibit biasa. Selain itu, hasilnya juga lebih seragam dan lebih tahan terhadap berbagai penyakit dan virus. Maka, tidak heran jika keuntungan petani menjadi lebih besar.

Karakter masyarakat desa pada umumnya adalah melihat dengan pengalaman. Artinya, mereka akan sulit berubah jika tidak ada bukti dan contoh konkrit dari suatu tindakan. Untungnya, Adhi cukup berhasil membuktikan ke masyarakat petani Dieng bahwa eksperimen yang dilakukannya membuahkan hasil luar biasa.

Pendekatan yang ia lakukan adalah pembinaan secara informal dan santai. Ia memilih untuk mengetuk hati dan pikiran petani melalui forum-forum keagamaan desa. Seperti yasinan, selapanan, dan lain sebagainya. Jika ada yang berminat, barulah ia mulai mengajari lebih lanjut.

Secara sukarela, ia membimbing para petani untuk mempelajari eksperimennya. Baginya, apapun yang terjadi petani harus mulia. Mereka harus adaptif dengan berbagai perubahan zaman. Sekalipun kondisi ekonomi mereka lemah, namun mereka harus memiliki modalitas lain yaitu kecakapan dan keterampilan.

Perlahan Berdampak, Perluas Kebermanfaatan

petani harus mandiri
Adhi pun mengembangkan idenya menjadi lembaga bernama PT. Adhi Guna Farm. Perusahaan ini harapannya menjadi lembaga yang bergerak secara sosio-preneurship. Usahanya tidak hanya berorientasi pada profit, namun juga ada dampak sosial dan lingkungan yang dapat dirasakan masyarakat Dieng.

Produksi dari lembaganya mulai dikembangkan menjadi lebih beragam. Tak hanya produk benih kentang yang bervariasi seperti Granola L, Granola K, JB, M2 hingga Agria yang senantiasa dijaga kualitasnya, bahkan sudah tersertifikasi. Serta terdapat berbagai benih sayuran yang juga dipastikan dalam kualitas yang baik.

Benihnya pun mulai dari in vitro/planlet, x vitro, G-0 dan G- memiliki produktivitas yang tidak diragukan lagi. Selain pembibitan, Adhi juga menanam sayur kentang, kubis dan wortel yang berada di luas wilayah seluas 62 Ha dengan produksi total per tahun 900 ton.

Setidaknya, 6 tahun setelah dobrakannya di wilayah Dieng ini, ia memiliki 7 penangkar aktif dengan 100 petani yang bermitra dengannya. Di Kecamatan Kejajar sendiri sudah ada 10 desa yang telah melakukan pembenihan dengan kultur jaringan.

Petani yang memiliki green house juga diajari cara membuat benih G-0 atau berbentuk umbi yang sterilisasinya diperhatikan. Sedangkan petani yang memiliki lahan, diajarinya membuat benih G-2 yaitu turunan dari G-0. Dari produksi benih G-0 saja sudah mampu menghasilkan 50 ton bibit per tahun dari satu penangkar.

Adhi ingin selalu ada transfer teknologi dari kemitraan ini. Petani harus tahu pembibitan kentang dari awal hingga akhir. Petani hari ini tidak boleh ketinggalan zaman. Mereka harus melek teknologi digital, memiliki pola pikir yang terbuka dan modern, memiliki kreativitas dalam produksi dan manajemen serta adaptif dalam ketenagakerjaan.

Menurut Adhi, permasalahan kentang dan lingkungan di Dieng harus didekati dengan tetap memperhatikan keuntungan berbagai pihak. Petani di Dieng sudah susah berpisah dari kentang. Karena dari tanaman inilah sumber ekonomi mereka dan tentunya akan sulit jika diajak beralih pada komoditas lain.

Upaya untuk terus memajukan pertanian kentang dan menjaga kelestarian lingkungan, dapat dimulai dengan mengubah kebiasaan masyarakat petani kentang. Perlu ada penyadaran secara massif untuk menanam kentang tidak secara ugal-ugalan.

Menanam kentang bisa dengan setahun sekali. Dengan menggunakan bibit yang berkualitas, meski menanam kentang sekali saja, tetap akan mendapatkan hasil produksi yang melimpah.

Melalui kultur jaringan kentang ini, Adhi tak hanya mengajak petani untuk mandiri dan berdaya dalam mengupayakan ketersediaan bibit kentang. Namun juga secara tidak langsung menyelamatkan lahan sekitar Dieng agar sistem pertanian yang sudah ada bisa terus lestari.

keunggulan kultur jaringan
Sebab, kentang Dieng masih menjadi idola dan incaran banyak pelaku usaha. Selain sebagai komoditas unggulan, hasil pertanian satu ini memegang peranan penting bagi perekonomian lokal hingga ketahanan pangan nasional.

Di sisi lain, Dieng sebagai salah satu kawasan penting dalam menyangga keseimbangan ekosistem, harus tetap dijaga kelestariannya. Di kawasan ini terdapat delapan daerah aliran sungai (DAS), kawasan konservasi, hutan produksi, dan hutan lindung yang memiliki peran krusial menjaga keseimbangan alam.

Sudah semestinya, pertanian lestari diupayakan tak hanya dalam rangka menyejahterakan petani. Namun juga memperhatikan kondisi alam untuk meminimalisir bencana yang juga berdampak pada kualitas hasil pertaniannya.

Melalui efektivitas hasil pembibitan dari kultur jaringan yang bisa menanam kentang setahun sekali dengan hasil berlimpah, bukanlah tidak mungkin jika sistem pertanian Dieng menjadi kawasan budidaya yang berorientasi pada kelestarian alam.

Inovasi dari hasil eksperimen Adhi Nurcholis ini menjadi angin segar yang menjawab keresahan banyak pihak terhadap kondisi petani kentang dan pertanian di Dieng. Jika terus dikembangkan, maka bisa menjadi solusi untuk berbagai masalah yang seolah-olah telah diwariskan dari masa ke masa.

Tak hanya meningkatkan kesejahteraan petani dan menguatkan ketahanan pangan lokal melalui panen yang berlimpah. Inovasi tersebut dapat menjadi harapan cerah terwujudnya pertanian berkelanjutan.

Related Posts

Posting Komentar